Mohon tunggu...
Alfaenawan
Alfaenawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Tata Negara

Berkarya guna Mencerdaskan kehidupan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Tasamuh dan Tawasuth Dalam Islam

17 Januari 2022   08:10 Diperbarui: 22 Juni 2023   15:50 5098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin

Oleh: Alfaenawan

Indoensia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman mulai dari perbedaan ras, suku bangsa, agama, etnis, budaya, dan perbedaan lainnya. Guna mempersatukan berbagai perbedaan tersebut maka Indonesia mempunyai prinsip bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu (bersatu). Dalam aspek agama, Indonesia mengakui 6 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu. Perbedaan tidak hanya antar agama, bahkan dalam internal islam sendiri memiliki berbagai perbedaan pandangan, perbedaan pendapat sudah terjadi di kalangan ulama klasik misalnya perbedaan mazhab fikih, perbedaan pandangan tasawuf, dll tetapi perbedaan tersebut hanya sebatas perbedaan yang bersifat furu’iyyah bukan masalah ushuliyyah (pokok). Dalam konteks Indonesia banyak terjadi kekerasan, konflik sosial, dan berbagai masalah lainnya perselisihan tidak hanya antar umat beragama, melainkan sesama agama atau sama-sama muslim sering melakukan pertengkaran. Dalam islam terdapat kelompok ekstrim (radikal, keras, eksklusif) yang melakukan keonaran sehingga bisa memecah belah umat, bahkan tindakan radikal tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan islam. Oleh karena itu, moderasi beragama sangat diperlukan guna meminimalisir kekerasan serta mencegah praktik ekstrim (radikal) dalam agama islam.

Selain persoalan islam radikal juga terdapat persoalan lain yang sangat penting (urgent), terutama ketika indonesia menghadapi masa globalisasi. Seiring dengan perkembangan zaman maka kemajuan teknologi juga berkembang pesat, alat komunikasi semakin canggih, dan berbagai kemajuan lainnya. Hal ini tidak hanya memberi dampak positif bagi masyarakat, melainkan juga terdapat dampak negatif yang diterima terutama oleh generasi muda. Misalnya lunturnya tradisi-tradisi yang baik, komunikasi yang kurang, ketergantungan terhadap handphone, hilangnya tradisi spiritual keagamaan, sikap gotong royong semakin pudar, dan berbagai dampak lainnya. Berbagai implikasi yang ada akibat globalisasi ini harus minimalisir, generasi muda seharusnya mampu menyaring dan memilah hal-hal yang positif (maslahah) terhadap masyarakat. Jangan hanya terbawa arus modernisasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, sikap moderasi belum cukup dalam meminimalisir dampak negatif globalisasi. Maka dari itu terdapat sikap untuk menjaga kerukunan umat beragama yang disebut dengan toleransi. Toleransi beragama mencakup berbagai persoalan yang berbuhubungan dengan akidah, dll yang dimiliki oleh seseorang. Islam merupakan agama yang membawa perdamaian, kerukunan, serta menghargai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Begitu juga dengan negara Indonesia yang menjamin hak asasi setiap warga negara untuk bebas berpendapat, kemerdekaan memilih agama sesuai kepercayaan, dan hak-hak lainnya. Melalui internalisasi nilai nilai toleransi maka berbagai pendangan kelompok tertentu, agama apapun, dan berbagai perbedaan lainnya bisa dipersatukan dalam sebuah negara.

Islam hadir sebagai agama yang mengajarkan sikap moderat dan juga sikap toleransi, agar umat islam membangun kerukunan antar agama dan mau menghargai berbagai perbedaan sehingga tercipta keharmonisan dalam internal islam maupun antar agama. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai tasamuh yang diartikan sebagai toleransi dan tawasuth yang seringkali diartikan sebagai moderat (moderation) beserta hal-hal yang berkaitan dengan kedua sikap tersebut.

 

Tasamuh dapat diartikan sebagai toleransi (tolerance), menurut KBBI toleransi adalah sikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian/pandangan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sikap tasamuh diperlukan dalam internal islam sendiri maupun antar umat beragama. Dengan adanya tasamuh ini maka kerukunan, persatuan (ukhuwah), dan keharmonisan akan terwujud di Indonesia. Islam merupakan agama yang dinamis dan tetap relevan digunakan dimanapun dan kapanpun (shalih fi kulli zaman wa al-makan). Oleh karena itu, umat islam harus bisa memberikan kontribusi terhadap persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia, salah satunya melalui implementasi tasamuh dalam kehidupan masyarakat. Konsep tasamuh merupakan sikap yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Q.S al-Mumtahanah: 28 yang artinya “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang orang yang zhalim.”

Dalam ayat tersebut dapat diketahui bahwa agama islam tidak melarang umat islam untuk berkomunikasi dan saling membantu dengan umat agama lainnya dalam bentuk apapun, selama tidak berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah mahdhah. Namun islam melarang berhubungan, berkominikasi, maupun bersahabat terhadap orang-orang yang memusuhi islam dan penganutnya. Orang orang yang merusak agama, menumpahkan tanah air, dan memecah belah umat harus diadili dan diberi hukuman secara tegas. Sikap toleransi juga pernah diajarkan oleh rasulullah saw, pada suatu ketika beliau menyatakan aku (Nabi Muhammad saw) adalah utusan Allah yang memiliki tugas menyebarkan syari’at islam dan satu satunya sarana mendapatkan keselamatan adalah menerima islam sebagai agama dan melaksanakan perintah-perintah sesuai syari’ah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Katakanlah wahai Muhammad, kebenaran (haq, truth) itu datangnya dari tuhanmu; Maka barang siapa yang ingin beriman, maka berimanlah. Namun barang siapa yang ingin kafir, maka biarkan ia kafir. Ayat ini juga mempertegas bahwa umat islam tidak boleh memaksa terhadap non-muslim, hal ini dikerenakan islam hadir sebagai ramat lil’alamin, dalam arti islam adalah agama yang membawa perdamaian dan menghindari konflik dalam masyarakat.

Sikap tasamuh (toleran) tidak hanya dalam internal umat islam, melainkan antar agama juga harus saling membangun solidaritas, menjaga toleransi, dan memberikan ruang yang luas terhadap umat selain islam untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki. Wujud toleransi tentu akan menjadi lebih fundamental apabila umat islam juga memberi kebebasan beragama terhadap umat non-islam. Adapun kebebasan beragama merupakan suatu hak yang dimiliki sesorang untuk memilih, menganut, maupun mengikuti agama sesuai dengan kehendak dalam diri orang tersebut. Islam juga mengajarkan umat islam agar tidak memaksa terhadap seseorang non-muslim untuk beragama islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Q. S. al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk masuk agama (islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.” Asbab an-Nuzul dari ayat ini adalah pada suatu ketika ada anak yang kafir, kemudian dipaksa oleh ayahnya untuk masuk agama islam. Kerana anak tidak mau menuruti permintaan ayahnya kemudian sang ayah mengancam terhadap anak tersebut. Lalu turun ayat ini sebagai peringatan untuk tidak memaksa untuk masuk agama islam.

Legalitas untuk memberi kebebasan dalam agama juga tercantum dalam Q.S al-Ghasiyah: 21 yang artinya “Maka berikan peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah memberi peringatan.” Ayat ini menjelaskan bahwa manusia (insan) hanya sekedar memberi peringatan, memberi nasihat, membimbing namun tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa terhadap orang lain, karena yang memiliki kekuasaan hanyalah Allah SWT (khalik). Ayat ini dipertegas lagi dalam Surat al-Qaf: 45 yang artinya “Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakana dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Oleh karena itu, berikan peringatan dengan al-Qur’an terhadap orang-orang yang takut dengan ancamanku.” Dalam ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa islam mengakui agama lain dan melarang untuk memaksa terhadap non-muslim, karena mereka mempunyai hak untuk meyakini agama yang dianut. Dalam hal ini, islam mengedepankan perdamaian antar agama dan mencegah adanya perpecahan, permusuhan, dan pertikaian antar agama.

Adapun yang dimaksud dengan tawasuth adalah moderat (wasathiyyah, moderation), dalam islam moderat seringkali disebut dengan moderasi yang memiliki arti pertengahan, diantara dua batas, atau tidak terlalu condong ke kanan maupun ke kiri (tidak ekstrim). Wujud moderasi (moderat) dalam islam dibagi menjadi empat garis besar yaitu moderat dalam persoalan akidah, ibadah, budi pakerti (akhlak al-karimah), dan tasyri’. Konsep tawasuth merupakan sesuatu yang menjadi garis pemisah antara dua hal yang berbeda (kontroversi) atau disebut dengan jalan tengah. Penengah ini tentu akan menentang adanya pemikiran radikal (keras). Tawasuth menurut Yusuf al-Qardhawi adalah salah satu karakteristik islam yang tidak dimiliki oleh ideologi-ideologi lain. Sementara dasar hukum tawasuth terdapat dalam Q.S al-Baqarah: 143 yang artinya “Dan telah aku jadikan kamu sekalian (umat islam), menjadi umat washatan (moderat, penengah, seimbang) supaya kamu sekalian menjadi teladan terhadap umat lainnya…” dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah akan menjadikan (memakai kata ja’ala, bukan khalaqa) umat washatan, dalam hal ini Allah dalam menjadikan umat tidak orisinal dari tangan Allah pribadi (khalaqa) melainkan dengan campur tangan pihak lain yaitu umat islam (ja’ala). Oleh karen itu, umat islam harus selalu mengedepankan moderasi dalam internal umat islam sendiri maupun moderasi antar agama lainnya.

Di Indonesia sikap moderat didominasi oleh dua golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua organisasi tersebut selalu bertindak dengan landasan Ahlusunnah wa al-Jama’ah (Aswaja), yang mana tawasuth menjadi salah satu minhaju al-fikr (metodologi berpikir) dalam ajaran Aswaja. Adapun karakteristik dalam konsep tawasuth (moderat) terdiri dari ideologi yang moderat (tidak ekstrim), mengkombinasikan berbagai kehidupan sekarang, menggunakan sumber hukum (al-Qur’an dan Hadist) dan metode aqliyah (logic, rasional, nalar) dalam memahami agama, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami nushus/teks, dan menggunakan metode ijtihad dalam istimbat al-ahkam (menetapkan hukum).

Sementara prinsip yang berkaitan dengan tawasuth adalah prinsip tawazun (keseimbangan, balance), tawazun merupakan sikap seimbang/setara dalam arti pemahaman dan amalan agama secara seimbang, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam bertindak. Dalam islam tidak melarang seseorang yang hanya melihat satu sisi dan menyalahkan kelompok lain yang tidak sesuai pemikirannya. tawazun (seimbang) ini seringkali dimasukkan dalam salah satu unsur tawasuth (moderat), karena dalam tawasuth juga terdapat nilai keseimbangan. Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “Hanya kepada Allah, kami menyembah dan meminta pertolongan.” Kemudian terdapat kelompok islam yang melarang untuk meminta doa restu terhadap ulama’ dan berbagai wasilah lainnya atas dasar ayat tersebut. Pemahaman islam radikal tersebut tidak sesuai dangan maksud nushus (ayat), dalam memahaminya diperlukan tafsir, asbab an-nuzul, dan berbagai ilmu pendukung lainnya. Kesalahan di sini karena yang dimaksud ayat tersebut adalah ayat haqiqi (memiliki makna hakikat) bukan ayat muhkamah (ayat yang memiliki makna tegas). Oleh karena itu, secara hakikat hanya Allah yang dapat memberi pertolongan, namun secara dhahir (lahiriyah) manusia bisa mencari wasilah tertentu. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pemahaman yang seimbang antara teks (nushus) dan nalar (rasional, ‘aql, logic) sangat diperlukan guna mendapatkan pemahaman secara komprehensif.

Selanjutnya membahas mengenai memilih pemimpin, pengangkatan kepala negara merupakan hal yang penting. Karena dengan adanya pemimpin maka sebuah negara akan teratur dan bisa mengolah (manage) berbagai bidang yang terdapat dalam sebuah negara. Bahkan islam secara tegas menuntut umatnya untuk taat/patuh terhadap ulil amri (pemerintah, orang yang mempunyai kekuasaan) dalam Q.S an-Nisa’: 59 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta ulil amri diantara kamu sekalian…” ayat ini mewajibkan umat islam untuk taat kepada Allah dan Rasul secara mutlak (bermakna mutlaqah: pasti) dan taat kepada ulil amri secara muqoyyad (terikat), dalam arti apabila pemimpin menyuruh hal-hal yang tidak baik maka jangan diikuti. Adapun syarat-syarat untuk menjadi pemimpin menurut Imam al-Mawardi adalah memiliki kemampuan untuk bertindak adil, mempunyai ilmu pengetahuan sehingga mampu melakukan ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan, fisik yang sempurna (tidak cacat), mempunyai keberanian serta ketegasan dalam mengatur negara, dan berbagai syarat lainnya

Adapun hukum memilih pemimpin non-islam terdapat perbedaan di kalangan ulama’. Menurut Badruddin al-Hamawi menyatakan bahwa “Tidak boleh mengangkat kafir dzimmi sebagai jabatan apapun, kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalang orang musyrik…” Namun berbeda dengan Imam al-Mawardi yang berpandangan “Dalam posisi pejabat tanfidz (eksekutif) boleh diisi oleh kafir dzimmi. Namun untuk posisi jabatan tafwidh (legislatif, yudikatif, dll) tidak boleh diisi oleh kalangan kafir dzimmi. Imam al-Mawardi memboleh non-islam untuk menjabat sebagai pejabat tanfidz dikarenakan kekuasaan tanfidz mencakup pelaksanaan undang undang atau hanya menjalankan peraturan yang sudah dibuat oleh legislator. Menurut penulis pendapat Imam al-Mawardi sangat tepat diterapkan dalam sebuah negara karena yang dibutuhkan terhadap pemimpin adalah kemampuan mengatur (siyasat al-dunya, siyasat al-din), menegakkan keadilan (al-‘adalah), mengelenggarakan kesejahteraan umum, melindungi rakyat, menjamin kebebasan berpendapat (demokrasi), menegakkan kesetaraan (al-musawa), dst. Oleh karena itu, meskipun seorang non-muslim, namun siap untuk melaksakan berbagai kewajiban sebagai pemimpin/pemerintah maka orang tersebut diperbolehkan menjadi pemimpin.

Sementara hubungan antara tasamuh dan tawasuth adalah saling berkaitan karena keduanya merupakan sikap dalam mempersatukan umat islam maupun umat lainnya. Dalam tawasuth juga terdapat unsur tasamuh dan sebaliknya, dalam tasamuh juga terdapat unsur tawasuth. Adapun tasamuh lebih condong untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni, damai, dan bersatu. Sikap tasamuh sangat diperlukan terutama di Indonesia yang mempunyai kekayaan keanekaragaman mulai dari suku, etnis, golongan, bahasa, budaya, agama, dll karena dengan adanya tasamuh (toleransi) maka segala perbedaan/kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dipersatukan. Adapun tawasuth cenderung bersikap moderat, tidak berlebih-lebihan (pertengahan), sikap ini sangat diperlukan ketika terjadi kelompok-kelompok ekstrim yang mengatasnamakan islam. Sikap radikal (ekstrim) dalam islam merupakan hal tidak sesuai dengan islam sesungguhnya, karena islam hadir dengan membawa kedamaian, kesejahteraan, dan persatuan. Islam moderat (tawasuth) juga mempertimbangkan berbagai hal dalam bertindak. Sikap tawasuth di Indonesia sangat diperlukan guna menjaga budaya luhur yang dimiliki oleh sebuah negara, hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi “al-muhafadhotu ‘ala qodim al-shalih wa al-ahdu bi al-jadid al-aslaah”: melestarikan/menjaga budaya lama yang baik, dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik.

Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama islam menekankan umatnya terhadap sikap tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat). Toleransi dan moderasi beragama tidak hanya diatur dalam al-Qur’an, melainkan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Tasamuh yang seringkali disebut dengan toleransi merupakan sikap menghargai dan lapang dada terhadap pandangan yang berbeda maupun sikap menerima serta menghormati terhadap keanekaragaman dalam masyarakat. Tasamuh tidak hanya menghargai sesama agama (islam), melainkan terhadap berbagai agama selain islam. Bahkan tasamuh dapat diimplementasikan terhadap berbagai perbedaan seperti suku, golongan, etnis, dan lain sebagainya, apalagi Indonesia merupakan negara yang kaya terhadap keanekaragaman (majemuk). Oleh karena itu, guna menciptakan kerukunan, persatuan, serta solidaritas terhadap berbagai perbedaan ini maka nilai-nilai tasamuh menjadi hal yang penting (urgent). Karena tasamuh (toleransi) melatih umat islam untuk memiliki hati yang lapang, menghormati terhadap kelompok lain, serta menghargai berbagai perbedaan yang ada di masyarakat, bahkan tasamuh juga menghargai adat/kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan agama, hal ini sesuai dengan asas reception a contrario dalam hukum adat. Dalam kaidah ushul fiqh juga menuntut umat islam untuk tetap mendukung kebiasaan dalam masyarakat selama tidak ada larangan dalam islam.

Selain tasamuh, islam juga mengajarkan tawasuth (moderat) dalam menjalankan agama. Perbedaan tidak hanya antar agama, melainkan dalam internal islam sendiri terdapat banyak perbedaan pandangan. Sejarah islam memperlihatkan berbagai perbedaan di kalangan ulama’ tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat furu’iyyah. Namun sakarang Indonesia menghadapi berbagai kelompok yang radikal (keras), aliran yang kurang memahami dasar-dasar agama, dan berbagai aliran lainnya bahkan kelompok islam radikal tersebut berbuat hal-hal yang negatif dengan mengatasnamakan agama. Dengan demikian, implementasi sikap tawasuth (moderat) sangat diperlukan guna mengajarkan umat islam untuk bersikap inklusif, seimbang, dan menghargai perbedaan pendapat. Dalam islam seseorang tidak boleh bertindak ekstrim atau berlebih-lebihan dalam dalam menyikapi berbagai peredaan. Moderasi beragama tidak hanya diperlukan dalam menciptakan kerukunan berbagai kelompok dalam internal islam melainkan juga untuk bersikap moderat antar agama. Oleh karena itu, tasamuh dan tawasuth merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena dua sikap tersebut bertujuan untuk mewujudkan persatuan, perdamaian, dan kerukunan bagi bangsa Indonesia.

  • Daftar Pustaka

Ahmad Saebani, Beni. (2015). Fiqh Siyasah Terminologi dan Lintasan Sejarah Politik Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Imam, Al-Mawardi. (2000). Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun