Mohon tunggu...
Alfaenawan
Alfaenawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Tata Negara

Berkarya guna Mencerdaskan kehidupan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Tasamuh dan Tawasuth Dalam Islam

17 Januari 2022   08:10 Diperbarui: 22 Juni 2023   15:50 5098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin

Di Indonesia sikap moderat didominasi oleh dua golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua organisasi tersebut selalu bertindak dengan landasan Ahlusunnah wa al-Jama’ah (Aswaja), yang mana tawasuth menjadi salah satu minhaju al-fikr (metodologi berpikir) dalam ajaran Aswaja. Adapun karakteristik dalam konsep tawasuth (moderat) terdiri dari ideologi yang moderat (tidak ekstrim), mengkombinasikan berbagai kehidupan sekarang, menggunakan sumber hukum (al-Qur’an dan Hadist) dan metode aqliyah (logic, rasional, nalar) dalam memahami agama, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami nushus/teks, dan menggunakan metode ijtihad dalam istimbat al-ahkam (menetapkan hukum).

Sementara prinsip yang berkaitan dengan tawasuth adalah prinsip tawazun (keseimbangan, balance), tawazun merupakan sikap seimbang/setara dalam arti pemahaman dan amalan agama secara seimbang, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam bertindak. Dalam islam tidak melarang seseorang yang hanya melihat satu sisi dan menyalahkan kelompok lain yang tidak sesuai pemikirannya. tawazun (seimbang) ini seringkali dimasukkan dalam salah satu unsur tawasuth (moderat), karena dalam tawasuth juga terdapat nilai keseimbangan. Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “Hanya kepada Allah, kami menyembah dan meminta pertolongan.” Kemudian terdapat kelompok islam yang melarang untuk meminta doa restu terhadap ulama’ dan berbagai wasilah lainnya atas dasar ayat tersebut. Pemahaman islam radikal tersebut tidak sesuai dangan maksud nushus (ayat), dalam memahaminya diperlukan tafsir, asbab an-nuzul, dan berbagai ilmu pendukung lainnya. Kesalahan di sini karena yang dimaksud ayat tersebut adalah ayat haqiqi (memiliki makna hakikat) bukan ayat muhkamah (ayat yang memiliki makna tegas). Oleh karena itu, secara hakikat hanya Allah yang dapat memberi pertolongan, namun secara dhahir (lahiriyah) manusia bisa mencari wasilah tertentu. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pemahaman yang seimbang antara teks (nushus) dan nalar (rasional, ‘aql, logic) sangat diperlukan guna mendapatkan pemahaman secara komprehensif.

Selanjutnya membahas mengenai memilih pemimpin, pengangkatan kepala negara merupakan hal yang penting. Karena dengan adanya pemimpin maka sebuah negara akan teratur dan bisa mengolah (manage) berbagai bidang yang terdapat dalam sebuah negara. Bahkan islam secara tegas menuntut umatnya untuk taat/patuh terhadap ulil amri (pemerintah, orang yang mempunyai kekuasaan) dalam Q.S an-Nisa’: 59 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta ulil amri diantara kamu sekalian…” ayat ini mewajibkan umat islam untuk taat kepada Allah dan Rasul secara mutlak (bermakna mutlaqah: pasti) dan taat kepada ulil amri secara muqoyyad (terikat), dalam arti apabila pemimpin menyuruh hal-hal yang tidak baik maka jangan diikuti. Adapun syarat-syarat untuk menjadi pemimpin menurut Imam al-Mawardi adalah memiliki kemampuan untuk bertindak adil, mempunyai ilmu pengetahuan sehingga mampu melakukan ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan, fisik yang sempurna (tidak cacat), mempunyai keberanian serta ketegasan dalam mengatur negara, dan berbagai syarat lainnya

Adapun hukum memilih pemimpin non-islam terdapat perbedaan di kalangan ulama’. Menurut Badruddin al-Hamawi menyatakan bahwa “Tidak boleh mengangkat kafir dzimmi sebagai jabatan apapun, kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalang orang musyrik…” Namun berbeda dengan Imam al-Mawardi yang berpandangan “Dalam posisi pejabat tanfidz (eksekutif) boleh diisi oleh kafir dzimmi. Namun untuk posisi jabatan tafwidh (legislatif, yudikatif, dll) tidak boleh diisi oleh kalangan kafir dzimmi. Imam al-Mawardi memboleh non-islam untuk menjabat sebagai pejabat tanfidz dikarenakan kekuasaan tanfidz mencakup pelaksanaan undang undang atau hanya menjalankan peraturan yang sudah dibuat oleh legislator. Menurut penulis pendapat Imam al-Mawardi sangat tepat diterapkan dalam sebuah negara karena yang dibutuhkan terhadap pemimpin adalah kemampuan mengatur (siyasat al-dunya, siyasat al-din), menegakkan keadilan (al-‘adalah), mengelenggarakan kesejahteraan umum, melindungi rakyat, menjamin kebebasan berpendapat (demokrasi), menegakkan kesetaraan (al-musawa), dst. Oleh karena itu, meskipun seorang non-muslim, namun siap untuk melaksakan berbagai kewajiban sebagai pemimpin/pemerintah maka orang tersebut diperbolehkan menjadi pemimpin.

Sementara hubungan antara tasamuh dan tawasuth adalah saling berkaitan karena keduanya merupakan sikap dalam mempersatukan umat islam maupun umat lainnya. Dalam tawasuth juga terdapat unsur tasamuh dan sebaliknya, dalam tasamuh juga terdapat unsur tawasuth. Adapun tasamuh lebih condong untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni, damai, dan bersatu. Sikap tasamuh sangat diperlukan terutama di Indonesia yang mempunyai kekayaan keanekaragaman mulai dari suku, etnis, golongan, bahasa, budaya, agama, dll karena dengan adanya tasamuh (toleransi) maka segala perbedaan/kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dipersatukan. Adapun tawasuth cenderung bersikap moderat, tidak berlebih-lebihan (pertengahan), sikap ini sangat diperlukan ketika terjadi kelompok-kelompok ekstrim yang mengatasnamakan islam. Sikap radikal (ekstrim) dalam islam merupakan hal tidak sesuai dengan islam sesungguhnya, karena islam hadir dengan membawa kedamaian, kesejahteraan, dan persatuan. Islam moderat (tawasuth) juga mempertimbangkan berbagai hal dalam bertindak. Sikap tawasuth di Indonesia sangat diperlukan guna menjaga budaya luhur yang dimiliki oleh sebuah negara, hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi “al-muhafadhotu ‘ala qodim al-shalih wa al-ahdu bi al-jadid al-aslaah”: melestarikan/menjaga budaya lama yang baik, dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik.

Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama islam menekankan umatnya terhadap sikap tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat). Toleransi dan moderasi beragama tidak hanya diatur dalam al-Qur’an, melainkan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Tasamuh yang seringkali disebut dengan toleransi merupakan sikap menghargai dan lapang dada terhadap pandangan yang berbeda maupun sikap menerima serta menghormati terhadap keanekaragaman dalam masyarakat. Tasamuh tidak hanya menghargai sesama agama (islam), melainkan terhadap berbagai agama selain islam. Bahkan tasamuh dapat diimplementasikan terhadap berbagai perbedaan seperti suku, golongan, etnis, dan lain sebagainya, apalagi Indonesia merupakan negara yang kaya terhadap keanekaragaman (majemuk). Oleh karena itu, guna menciptakan kerukunan, persatuan, serta solidaritas terhadap berbagai perbedaan ini maka nilai-nilai tasamuh menjadi hal yang penting (urgent). Karena tasamuh (toleransi) melatih umat islam untuk memiliki hati yang lapang, menghormati terhadap kelompok lain, serta menghargai berbagai perbedaan yang ada di masyarakat, bahkan tasamuh juga menghargai adat/kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan agama, hal ini sesuai dengan asas reception a contrario dalam hukum adat. Dalam kaidah ushul fiqh juga menuntut umat islam untuk tetap mendukung kebiasaan dalam masyarakat selama tidak ada larangan dalam islam.

Selain tasamuh, islam juga mengajarkan tawasuth (moderat) dalam menjalankan agama. Perbedaan tidak hanya antar agama, melainkan dalam internal islam sendiri terdapat banyak perbedaan pandangan. Sejarah islam memperlihatkan berbagai perbedaan di kalangan ulama’ tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat furu’iyyah. Namun sakarang Indonesia menghadapi berbagai kelompok yang radikal (keras), aliran yang kurang memahami dasar-dasar agama, dan berbagai aliran lainnya bahkan kelompok islam radikal tersebut berbuat hal-hal yang negatif dengan mengatasnamakan agama. Dengan demikian, implementasi sikap tawasuth (moderat) sangat diperlukan guna mengajarkan umat islam untuk bersikap inklusif, seimbang, dan menghargai perbedaan pendapat. Dalam islam seseorang tidak boleh bertindak ekstrim atau berlebih-lebihan dalam dalam menyikapi berbagai peredaan. Moderasi beragama tidak hanya diperlukan dalam menciptakan kerukunan berbagai kelompok dalam internal islam melainkan juga untuk bersikap moderat antar agama. Oleh karena itu, tasamuh dan tawasuth merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena dua sikap tersebut bertujuan untuk mewujudkan persatuan, perdamaian, dan kerukunan bagi bangsa Indonesia.

  • Daftar Pustaka

Ahmad Saebani, Beni. (2015). Fiqh Siyasah Terminologi dan Lintasan Sejarah Politik Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Imam, Al-Mawardi. (2000). Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun