Mohon tunggu...
Alfa Anisa
Alfa Anisa Mohon Tunggu... Editor - Penulis Blitar

Saat sedang sendirian, lebih suka menikmati waktu untuk berimajinasi, melamun dan menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Danyang

25 Maret 2024   23:58 Diperbarui: 26 Maret 2024   18:47 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Aku merapatkan kemeja, udara dingin yang mendadak berdatangan membuat bulu kudukku meremang. Aku mengalihkan pandangan ke luar, langit mulai berwarna kelabu, jalanan kembali sepi, lebih banyak dihuni oleh ribut angin yang memainkan daun-daun kering dan ranting yang patah.

            "Danyang itu seperti penjaga yang menjaga kampung ini?" tanyaku lagi untuk memastikan. Aku tak ingin menerka-nerka, karena dalam riset kali ini waktu teramat berharga kalau hanya menebak yang aku tak tahu asal-usulnya

            Mbah Pingi mengangguk, "Danyang itu penjaga yang tak kasat mata. Dulu Mbah Abdul, tokoh yang mbabat kampung ini menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro yang kalah di medan perang akibat dikhianati oleh orang dalam. Hingga akhirnya beberapa orang menyebar di seluruh Tanah Jawa, diantaranya Mbah Abdul dan Mbah Jamal yang keduanya bekerja sama mbabat kampung ini,"

            Mbah Pingi menghentikan sejenak, ia kembali menyeruput secangkir kopinya yang nyaris habis. "Kedua tokoh tersebut dikenal sebagai sosok yang taat, dan patuh terhadap agama. Bahkan orang-orang di masa lalu juga percaya, semenjak kedatangan dua tokoh tersebut, kampung benar-benar dirawat tak hanya dari sisi lahir, tapi batin juga. Bahkan konon katanya Danyang kampung juga menjadi takluk dengan kedua tokoh tersebut, dan mengabdi menjadi muridnya. "

            Aku melipat wajah, menulis semua cerita yang dituturkan Mbah Pingi."Sepertinya dulu kampung ini juga dikenal dengan kampung gendang?" aku mengingat ada orang yang pernah mengatakan hal itu, "Lalu, kenapa saat ini tak ada lagi upacara menghormati penjaga atau Danyang, Mbah?" tanyaku beruntun sangking penasarannya.

            Mbah Pingi tersenyum simpul ke arahku, "jika ingin ke sana, datanglah bersamaku. Akan kutunjukkan makamnya!" jawabnya yang membuatku kembali bertanya-tanya, padahal hanya menanyakan lokasinya dan aku bisa pergi sendirian.

            "Saya tidak ingin merepotkan Mbah Pingi," kataku menolak halus dengan bahasa yang sesopan mungkin.

            "Segalanya telah berubah sekarang. Tempat itu, suasananya, dan pohon-pohon yang tumbuh di sana seolah tak lagi mendapat kekuatan untuk tetap bertahan," Mbah Pingi terlihat memainkan janggutnya dengan tangan kiri, mencoba menahan sesak yang bertubi-tubi datang mengungkit masa lalunya, "letaknya di belakang masjid kampung, jika kamu tak punya teman untuk ke sana, datanglah ke sini, aku siap menemani untuk menunjukkan lokasinya,"

            Aku balas mengangguk pelan, lalu gegas merapikan catatan dan rekaman yang telah kusiapkan tadi untuk pelengkap mencari data tentang kampung.

            "Sebenarnya untuk apa kamu bersusah payah ingin menuliskan tentang kampung ini, kampung yang tak lagi ramai, bahkan terkesan sunyi dan orang-orang mulai dingin terhadap sesamanya?" Mbah Pingi tiba-tiba bertanya yang membuatku terperanjat dengan pertanyaan yang mendadak itu.

            Aku bergumam, mencari kata-kata agar tak menyinggung perasaanya, "sebenarnya saya sedang ikut lomba penulisan naskah buku. Beberapa hari lalu saya bingung ingin menuliskan tentang apa, tiba-tiba suatu malam saya bermimpi bertemu dengan kakek tua yang menunjukkan jalan ke rumah Mbah Pingi,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun