Mohon tunggu...
Alfa Anisa
Alfa Anisa Mohon Tunggu... Editor - Penulis Blitar

Saat sedang sendirian, lebih suka menikmati waktu untuk berimajinasi, melamun dan menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarkan Aku Mencari Rumah

17 Januari 2024   21:50 Diperbarui: 17 Januari 2024   21:52 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tahun ini menjadi tahun terakhir aku mencari rumah untuk hati yang terlalu lama menyimpan kesedihan. Tahun depan akan kupasrahkan segalanya pada bapak,"

Pesan singkat di ponsel suami tak sengaja kubaca, tertulis nama Atiq di atasnya. Nama perempuan itu sepertinya tak asing, aku mencoba memutar ingatan pada hari di mana kami saling bercerita tentang masa lalu, teman, dan mantan. Ya, aku ingat perempuan itu pernah menyukai suamiku.

**

 "Mbak Atiqoh masih berharap padamu," tanyaku ketika Mas suami lagi sibuk memainkan ponselnya. Tepatnya membalas pesan perempuan yang pernah menjadi kakak kelas di SMA.

Mas hanya mengangguk tanpa menatapku, "Dari dulu tak pernah ada kecocokan.  Tapi mereka masih mencoba mempertahankan hubungan, hingga akhirnya salah satu dari mereka menyerah setelah menghabiskan hampir 10 tahun hubungan yang sia-sia," kata Mas tiba-tiba yang kubalas dengan kerutan di kening karena masih mencerna apa yang dikatakannya.

"Mereka siapa, Mas?" tanyaku bingung.

Mas memandangku dengan tatapan lembut, mungkin saja ia menganggap aku ingat apapun yang diceritakannya beberapa waktu lalu. "Prano dan Mbak Atiq. Padahal aku kagum dengan cinta mereka yang dewasa, saling memahami, tapi ternyata kedewasaan itulah berujung pada perpisahan yang sebelumnya tak pernah diperjuangkan," ucap Mas.

"Prano tak pernah berjuang untuk Mbak Atiq? Bukannya dia sedang kuliah S2 dan dapat beasiswa pula, itu kan menjamin masa depannya nanti setelah menikah," kataku menyampaikan pendapat.

"Bagiku jadi seorang lelaki itu harus kuat dan bertanggung jawab terhadap apapun yang telah diputuskannya, termasuk memilih seorang pasangan bersamaan dengan menjalani pendidikan yang sudah diimpikan. Tapi nyatanya Prano berbeda, ia memilih pendidikan, padahal sejak dulu Mbak Atiq selalu berada di sampingnya untuk menyemangati,"

Mas, Prano dan Mbak Atiq adalah teman SMA. Prano dan Mbak Atiq sudah sejak kelas 2 SMA menjadi sepasang kekasih, dan Mas jadi orang pertama yang selalu mendapat kabar ketika keduanya ada masalah. Termasuk ketika Prano yang setahun lalu tiba-tiba meminta putus, tak berselang lama berjarak 6 bulan dikabarkan menikah dengan perempuan asal Banyuwangi.

Saat itu kata Mas, Mbak Atiq benar-benar terluka, bukan karena hubungan yang selesai tetapi justru hubungan yang tanpa diperjuangkan sama sekali. Dalam sebuah hubungan, tak mungkin komitmen hanya dimiliki satu orang saja, kan.

"Perempuan punya masa tunggu, jauh berbeda dengan lelaki. Jika usianya mendekati angka tiga puluh, biasanya seorang perempuan akan menyerah pada waktu di mana lagi menemukan rumah yang nyaman untuk masa depan hatinya. Menyerah pada keadaan, dan memasrahkannya pada orang yang paling dipercayainya," ucapku menyimpulkan apa yang sedang dialami oleh Mbak Atiq.

**

Aku tak tahu bagaimana Mbak Atiq terus berharap pada Mas untuk membantu mencarikan pasangan, entah dikenalkan kepada teman, atau dibantu agar lekas menemukan pasangan. Salah satu sisi ada rasa kasihan, namun sisi lainnya justru khawatir.

Ya, khawatir dengan perasaan yang barangkali diam-diam tumbuh kembali di rongga dada Mbak Atiq lantaran sering berkirim pesan dengan Mas.  Meskipun rasanya mustahil karena batasan pernikahan dan kedewasaan, tapi perempuan tetaplah seseorang yang gemar menyimpan kegelisahan.

"Mbak Atiq kukenalkan dengan Mahfud, teman kuliahku dulu," kata Mas tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Gerimis sore hari memang cocoknya bersantai di teras rumah sambil menikmati secangkir teh hangat dan pisang goreng yang masih mengepulkan uap tipis. 

Aku menggengam segelas teh dengan kedua tangan, rasa hangat seketika menyebar ke sekujur tubuh. "Kenapa Mbak Atiq masih memintamu untuk mencarikan pasangan, Mas?" tanyaku penasaran. 

Mas terlihat mengangkat kedua pundaknya, pertanda tak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Mbak Atiq.  "Barangkali temanku sebagian besar itu kerjanya di bagian konstruksi dan arsitek,"

"Mbak Atiq ingin jadi istri orang kaya? " tanyaku dengan polosnya. 

"Siapa sih yang nggak mau? Sebagian besar perempuan, kan, pengen punya pasangan yang mapan, dan kaya tentunya," sahut mas tertawa ringan.

Aku mengernyitkan kedua kening, lalu menatap jalanan yang sepi kendaraan. "Aku nggak mau kaya, apalagi pengen dapat pasangan yang kaya.  Aku dulu pengen punya suami yang bisa menata hidupku,"

"Oh iya lupa,  cuma kamu perempuan yang nggak nyari pasangan kaya.  Hehe." Balas Mas tertawa sambil mengelus kepalaku lembut.

"Makanya Mbak Atiq dulu pernah menyukaimu karena Mas arsitek, punya pekerjaan dan penghasilan mapan, kan, " tanyaku memancing rasa penasaran. 

"Mungkin saja. Tapi sayangnya aku tahu mana perempuan yang menyukai karena cinta dan karena harta. Hehe,"kata Mas tertawa ringan. "Prano dulu saat kuliah hidupnya sederhana banget, kadang sehari bisa nggak makan, karena beasiswa telat. Soal pernikahan, katanya dulu ingin menikah yang sederhana saja. Jauh berbeda dengan Mbak Atiq yang sebenarnya menerima apapun keadaan Prano, tapi soal prinsip pernikahan ingin dirayakan dengan mengundang tamu banyak orang."

Mas menghela napas berat, "Beda prinsip soal pernikahan itulah yang mungkin jadi alasan untuk berpisah,"

"Hm." gumanku pendek.  Menurut istilah agama yang pernah kudengar namanya tak sekufu atau sederajat, dan berpisah memang jalan terbaik agar saling menemukan rumah yang tepat. 

**

"Tanggal 2 Januari datanglah ke rumah. Ucapin selamat gitu udah jadi istri orang. Wkwk,"

Lagi-lagi pesan dari Mbak atiq tak sengaja kubaca.  Namun kali ini sepertinya kabar gembira karena tahun baru akhirnya punya rumah yang selalu dinantikan. 

Sebenarnya aku tak pernah tahu lagi kabar Mbak Atiq, sejak awal Desember lalu saling bercerita akhir kisah cinta Prano dan Mbak Atiq yang kandas gegara tak sejalan soal prinsip pernikahan. Prano ingin hidup sederhana saja,  mengikuti garis takdir dan nasib sesuai kemampuannya,  sedangkan Mbak Atiq ingin menempuh jalur menanjak agar jadi orang yang punya penghasilan mapan. 

"Mbak Atiq jadi menikah sama temenmu, Mas?" tanyaku kepada Mas yang sedang sibuk di depan komputer.  

Mas menoleh kepadaku, "ya begitulah. Katanya cuma mau tunangan dulu, eh ternyata nikahan sekalian."

"Alhamdulillah resolusi punya dua rumah di tahun baru akhirnya terwujud. Emang ya,  doa orang yang dilanda rasa sakit itu lebih banyak diijabahi," kataku spontan saja.

"Kok dua rumah? " tanya Mas bingung. 

"La iya dua rumah.  Satu rumah perasaan, satunya rumah beneran di Batu Malang. Wkwkwk, "

"Oalah, amin," sahut Mas dengn suara kencang ikut mengamini.  ***

BIODATA

Alfa Anisa, lahir di Blitar 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api dan sunyi. Berkegiatan di Komunitas Sastra Hangudi Blitar. Beberapa karya pernah dimuat di media massa dan antologi bersama. Bisa dihubungi di fb alfa anisa, ig @alfa anisa dan rumah karyanya di alfaanisaa.blogspot.com. Saat ini tinggal di Jalan Brigjen Katamso Nomer 135 Gedog Sananwetan Kota Blitar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun