Ketika dihadapkan dengan persoalan dan tema film religi, ingatanku justru berputar-putar tentang kapan terakhir kali aku menonton film?
Tak hanya film religi saja, film apapun, aku termasuk tipe penonton yang buruk. Seingatku film religi yang pernah kutonton ada beberapa, seperti Hafalan Surat Delisa, Ketika Cinta Bertasbih, My Name is Khan, Ayat-ayat Cinta, dan entah apa lagi.Â
Sederet film religi yang pernah kutonton itu pun aku harus browsing dulu di internet untuk mengingat sebenarnya film apa saja yang pernah kutonton. Karena sebenarnya jika  suatu film memiliki kesan tersendiri, pasti aku bakal mengingat judulnya.
Atau mungkin karena jadi penonton yang buruk, film apapun yang ditonton bakal tak memiliki kesan. Padahal sebenarnya aku juga ingin seperti orang-orang yang menikmati setiap film yang bakal dirilis, atau minimal ikut euforia saat akan menonton film terbaru di bioskop.Â
Kalau disuruh mengingat kapan terakhir kali ke bioskop? mungkin sudah sekitar 7 tahun lalu di tahun 2016. Itu pun harus pergi ke kota tetangga dulu untuk menonton film di bioskop, karena di kotaku bioskop baru ada sejak 2018.
Film Religi yang Berkesan
Mungkin kategori berkesan tiap orang berbeda, begitu pula denganku jika ditanya film religi yang berkesan hingga saat ini. Namun jika ditanya alur cerita, aku masih ingat beberapa saja seperti Hafalan Surat Delisa.
Teringat alur ceritanya itu karena pernah membaca versi novelnya yang ditulis oleh Tere Liye. Mungkin kalau tak ada versi novelnya, aku bakalan lupa alur cerita sebagaimana film yang lain.Â
Bagian film 'Hafalan Surat Delisa' yang membuatku masih teringat dan membuat sesak di dada adalah ketika melihat ketegaran Delisa menghadapi musibah yang konon katanya film tersebut terinspirasi dari kisah nyata Tsunami Aceh di tahun 2004
Terlebih lagi ketika melihat betapa khusyuknya Delisa saat praktek sholat, membuatku tersadar bahwa untuk mencapai ruang yang khusyuk itu tak sembarang orang bisa memasukinya. Namun Delisa dengan segala keluguannya, ia mampu mencapai itu semua.Â
Penonton Film yang Buruk
Aku mengelompokkan diri jadi penonton film yang buruk itu karena saat nonton film selalu tergoda untuk melihat endingnya.
Entah tak peduli alur ceritanya yang masih adem ayem, konflik dimulai, ataupun udah klimaks. Aku selalu tergoda untuk memutar langsung dari bagian awal perkenalan, trus lanjut di bagian endingnya bahagia atau sedih.
Aku menyadari bahwa nonton film dengan cara begitu tidaklah baik. Tapi entah kebiasaan itu masih sulit dihilangkan.
Padahal ada banyak hal yang bisa didapatkan jika menonton film tanpa tergoda untuk melihat endingnya.
Selain bisa mencari ide untuk bahan tulisan, dengan menonton film secara berurutan juga bisa membuat pikiran lebih terbuka terhadap suatu hal.
Semoga setelah ini dan seterusnya, kebiasaan burukku dalam menonton film bisa dikurangi sedikit demi sedikit, sehingga dapat menemukan esensi dari makna film tersebut. ***
05042023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H