Mohon tunggu...
Naufal Alfarras
Naufal Alfarras Mohon Tunggu... Freelancer - leiden is lijden

Blogger. Jurnalis. Penulis. Pesilat. Upaya dalam menghadapi dinamika global di era digitalisasi serta membawa perubahan melalui tulisan. Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. "Dinamika Global dalam Menghadapi Era Digitalisasi" Ig: @naufallfarras

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Ghost Fleet", Film Perbudakan di Laut Indonesia

5 Oktober 2019   14:20 Diperbarui: 6 Oktober 2019   04:23 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, Kedubes Amerika Serikat yang berada di Jakarta menggelar screening dan diskusi mengenai film dokumenter yaitu "Ghost Fleet".

Sedikit informasi, "Ghost Fleet" menyajikan sebuah gambaran bagaimana praktek perbudakan yang terjadi.di atas kapal sektor penangkapan ikan di perairan laut Asia Tenggara.

Film tersebut dirilis pada September tahun lalu. Shannon Service merupakan seorang jurnalis senior berkebangsaan Amerika Serikat sekaligus sutradara "Ghost Fleet".

Sedangkan pemutaran perdana film dokumenter ini dilakukan oleh Kedubes AS di Jakarta pada awal Agustus 2019 yang turut mengundang beberapa aktivis, jurnalis, dan pejabat pemerintahan.

Film "Ghost Fleet" hingga kini belum tersedia versi Bahasa Indonesia, sehingga penonton mesti memahami film walaupun menggunakan terjemahan Bahasa Inggris.

Sedikit Cerita Mengenai "Ghost Fleet"

Ide pembuatan film berawal dari laporan investigasi yang dirilis oleh media asing Associated Press atau yang lebih dikenal dengan AP.

Secara umum, film karya jurnalis AS tersebut menceritakan sekelompok aktivis yang menelusuri beberapa pulau terpencil di Indonesia dengan tujuan melakukan penelusuran atas apa yang diberitakan oleh media.

Mereka berusaha dengan susah payah dalam membebaskan orang-orang yang menjadi budak di atas kapal penangkapan ikan milik perusahaan asal Thailand. Kapal ini kerap beroperasi secara ilegal di perairan nusantara.

Yang menarik adalah korban perbudakan berasal dari negara tetangga. Sebut saja Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos. Perusahaan asing merekrut pekerja secara ilegal.

Timbul pertanyaan bagaimana kapal-kapal asing dapat dengan mudah lalu-lalang di wilayah Indonesia. Dalam film ini dijelaskan kapal asal Negeri Gajah Putih tidak akan langsung berlayar menuju Indonesia.

Melainkan transit di Singapura atau Malaysia terlebih dahulu sebelum memasuki wilayah Indonesia menuju Pulau Sulawesi. Saat transit banyak persiapan yang mesti dilakukan.

Di antaranya, nama kapal beserta dokumen kapal akan diubah sedemikian rupa menjadi identitas Indonesia. Kapal ini pun turut berganti bendera menggunakan Bendera Merah Putih.

Identitas para penghuni kapal turut dipalsukan. Ditambah ciri fisik warga asing yang memiliki kemiripan dengan pribumi semakin mempermudah akses kapal asing masuk ke Indonesia.

Karena tak tahan dengan perbudakan di atas kapal, banyak dari mereka yang memutuskan untuk melarikan diri dan bersembunyi di pulau kecil Indonesia. Pulau Benjina dan Kaimana pun menjadi dua tempat yang dipenuhi bekas perbudakan.

Perbudakan Asing Justru Terjadi di Dalam Negeri

Sebenarnya masih banyak sisi gelap yang digambarkan dalam durasi 90 menit film "Ghost Fleet". Rata-rata Indonesia mengalami kerugian 30 hingga 50 triliun rupiah setiap tahunnya lantaran ikan dalam negeri yang diangkut secara ilegal ke luar negeri.

Penangkapan ikan ini termasuk yang dilakukan di atas kapal perbudakan milik pihak asing. Indonesia dan Thailand menjadi dua pihak yang menjadi sorotan dalam film.

Kecurigaan praktek perbudakan mulai muncul pada 2011. Pada tahun 2013, isu mulai naik ke permukaan lantaran negara tetangga seperti Thailand dan Myanmar memutuskan untuk menyelamatkan sendiri warganya yang terjebak di Indonesia.

Para jurnalis asing turut menyoroti praktek perbudakan yang terjadi. Shannon bersama dengan beberapa warga Indonesia mulai menggarap film sebagai wujud keprihatinan atas apa yang terjadi.

Beberapa pihak menyayangkan film berdurasi 90 menit ini hanya meliput sisi para pekerja sebagai korban. Secara tidak langsung pemerintah Indonesia terkesan tidak melakukan langkah konkret.

Beberapa terobosan justru mulai dilakukan setelah informasi diperoleh dari pihak asing dan bukan dari dalam negeri. Memang saat ini pelaku kejahatan sudah ditindaklanjuti.

Para korban juga telah menerima hak-hak yang seharusnya mereka peroleh. Film "Ghost Fleet" bertujuan untuk membuka mata semua pihak bahwa di era modern saat ini praktek perbudakan di atas kapal masih sering dijumpai.

Pasca kejadian, upaya pecegahan rasanya lebih dibutuhkan bagi Indonesia. Sangat memalukan praktek perbudakan yang dilakukan pihak asing terhadap warga asing justru terjadi di wilayah kedaulatan Indonesia.

Malang, 5 Oktober 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun