Di Indonesia, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) digunakan sebagai nilai untuk mengukur kualitas udara. Perbedaannya terletak pada konsentrasi debu yang diukur.
Perhitungan ISPU berdasarkan konsentrasi debu partikulat PM10 atau debu polutan berukuran ~10 mikron. Sedangan perhitungan US AQI yang digunakan platform AirVisual berdasarkan PM2,5 atau debu polutan berukuran ~2,5 mikron.
Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemprov DKI menyatakan bahwa mereka memiliki data tersendiri dan data milik AirVisual bukanlah sebagai acuan.
Salah satu penyumbang polusi terbesar di Indonesia datang dari rendahnya kualitas bahan bakar serta teknologi mesin kendaraan bermotor yang menyebabkan sisa pembakaran tak sempurna.
Bahan bakar memiliki suatu standar kualitas yang dapat dikatakan bagus sehingga meminimalisir polusi udara. Teknologi mesin kendaraan turut berperan penting dalam menentukan polusi udara dalam proses pembakaran.
Aktivitas pabrik industri, konstruksi pembangunan, dan debu jalanan juga menjadi penyebab mengapa kualitas udara di Ibukota kian memprihatinkan.
Sebagai warganet, semestinya tidak perlu memperdebatkan alat ukur jenis apa yang menjadi acuan. Karena pada dasarnya setiap instansi atau platform memiliki metode tersendiri yang bertujuan untuk memberikan informasi aktual mengenai kualitas udara.
Salah satu keunggulan yang dimiliki AirVisual, yakni kemudahan dalam mencari informasi mengenai kualitas udara di suatu wilayah. AirVisual yang dapat diakses melalui situs resmi bahkan melalui smartphone semakin memudahkan warganet.
Tidak heran apabila platform ini mulai diandalkan masyarakat terkhusus Ibukota dalam memantau dinamika kualitas udara di Jakarta. Hal ini bertujuan agar kondisi kesehatan tetap terjaga sebelum beraktivitas.
Upaya yang dapat dilakukan dalam meminimalisir polusi udara salah satunya dengan rutin melakukan cek kelayakan kendaraan bermotor sebelum berkendara. Oleh karena itu, memahami akan bahaya polusi udara perlu ditingkatkan.
Bogor, 30 Juli 2019