Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah di Masa Lalu (Part 3 of 3)

25 April 2016   18:10 Diperbarui: 25 April 2016   18:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gambar: pixabay.com)

Aku membuka mataku perlahan.

Aswan… Aswan…

Aku tidak tahu ini dimana…

Suara yang kukenal memanggil-manggil namaku. Aku melihatnya… Ibu nampak senang sekali saat melihatku terbangun. Aku masih bisa melihat guratan merah di bawah matanya, yang menunjukkan bahwa ia banyak menangis sebelumnya.

Aku memalingkan wajahku ke arah kananku. Di sana ada wanita cantik yang akan kunikahi. Ia nampak sangat sedih, tak henti-hentinya ia mengguncang-guncang tubuhku. Memanggil namaku berkali-kali dengan penuh pilu di seluruh matanya.

Aku ingin sekali memeluk mereka berdua. Tapi, aku tak mampu. Sekujur tubuhku terasa begitu panas dan tak bisa digerakkan sepenuhnya. Perban-perban putih nampak membalut sekujur tubuhku yang penuh dengan luka. Ah iya… aku tersambar petir beberapa saat yang lalu.

“Bu.. I… bu…”

“A.. ir…” pintaku memelas kepada Ibu sambil menunjuk gelas yang ada di meja.

Fina segera meloncat dari kursinya dan segera mengambilkan segelas air untukku. Diberikannya gelas itu kepada Ibu. Ibu pun memasukkan sedotan ke dalam gelas itu dan membantuku untuk meminumnya.

Aku meminumnya seteguk. Kemudian seteguk lagi. Namun sesaat kemudian menyemburkannya kembali. Dadaku tiba-tiba sangat sesak dan sakit sekali. Tubuhku pun lalu bergejolak hebat karena kesakitan yang kurasakan.

Seketika semua menjadi gelap, dan sejurus kemudian aku pun kembali menemukan gambaran putih disekitarku.

Membawaku kembali dalam tidur panjangku.

_______________________________________________________

Sungai tempat kami memancing nampak begitu indah.

Langit jingga tampak terpantul sempurna di atas permukaan sungai. Daun-daun sesekali bergoyang riang di atas dahan, menyaksikan syahdu pemandangan senja ini. Suasana yang indah sekali, apalagi di langit nampak burung-burung gereja terbang beriringan ke haribaan.

Aku memandang wajah Ayah. Ia masih begitu asyik dengan joran dan kail yang dimilikinya. Ia menoleh ke arahku sejenak.

“Kamu sudah dapat ikan belum?”

Aku tertawa meringis kepadanya sambil menunjukkan ember kosong milikku. “Beyum…” kataku imut

Keheningan sesaat menyelimuti kami. Aku melihat capung-capung beterbangan kesana kemari menghinggapi tumbuhan di sungai ini. Sesekali mereka terhenyak, terbawa oleh arus angin yang kadang datang menganggu kesenangan mereka di sore ini.

Aku kembali menatap wajah Ayah.

“Ayah seneng nggak menikah dengan Ibu?”

Ayah tersenyum.

Iya… senang…jawabnya pelan.

“Ayah seneng nggak ketemu sama aku?” tanyaku kembali.

Ayah mengernyitkan dahinya. Kemudian berpura-pura berpikir.

“Nggak ah. Soalnya Aswan makannya banyak, ngabis-ngabisin nasi di dapur.”

“Iiish.. tega banget sih.” kataku sambil memalingkan wajah ke arah lain.

Ayah tertawa senang melihat kelakuanku.

“Ya.. Nggak lah. Ayah cuma bercanda.”

“Mana mungkin Ayah tidak senang memiliki anak sebaik Aswan.” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku pun berdiri, kemudian memeluk tubuh Ayah dari belakang dengan tubuh kecilku.

“Ayah, jangan pergi lagi….”

Ayah hanya diam, tidak menjawab.

Ia pun kemudian menatap ke arah langit. Entah apa yang dilihatnya.

Di sudut sungai ini, kami berdua bersama...

Akan memancing selamanya…

Akan menatap senja yang sedemikian indahnya...

Akan tetap berdua…. sampai nanti tiba saatnya…

Untuk kami menjemput Ibu datang.

-------------------------------------------------------------------------------------

FIN

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

EPILOG

Di bawah sebuah pohon, seorang nenek renta seusia 80 tahun datang, Menaburkan bunga di atas nisan dua orang yang dicintainya. Ia menangis tersedu-sedu di samping kedua nisan itu. Lama sekali. Seorang diri….

Dari jauh, di ujung senja terlihat seorang anak kecil dan ayahnya berpegangan tangan dengan mesra. Membawa joran dan kail di punggungnya. Tampak senyum menghiasi wajah keduanya…

Perlahan kedua sosok itu menghilang…

berjalan pelan menuju senja…

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

TERIMA KASIH SUDAH MAU MEMBACA… :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun