Mohon tunggu...
Al Fiqh
Al Fiqh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak Bangsa

Manusia alam, pembaca, penulis artikel dan puisi. Hanya sekedar gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersahabat: Pergelutan Antar Pikiran dan Sosial

30 Juli 2023   12:04 Diperbarui: 30 Juli 2023   12:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana pembaca memaknai sahabat?

Persahabatan atau bersahabat (baca: sikap). Sebagaimana penulis dapatkan, bahwa tidak sedikit sekelompok remaja pecah hanya gegara cara bercanda yang tidak tepat. Namun apakah persahabatan itu hanya sebatas kita kenal dengan orang lain? Atau karena seringnya bertemu dan saling menyapa? Atau karena sering berkumpul bersama seperti di sekolah dan di warung kopi?

Dalam hal pertama, persahabatan merupakan indikasi dari sikap sosial masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang rata-rata remaja. Persahabatan merupakan hal lumrah yang mudah di temui di lingkungan sekitar. Namun disisi lain, bukan berarti sebuah persahabatan dapat bertahan lama dalam sebuah perselisihan antara sudut pandang dan tindakan. Terkadang salah satu diantara kedua harus saling memahami dan terbuka dalam setiap keadaan. 

Namun kali ini kita bahas makna sahabat (baca: sikap) lebih dalam kembali. Sahabat tidak hanya selintas pemahaman persahabatan dengan teman atau siapapun. Mayoritas seseorang bagitu lemah dalam bersahabat. Mengapa demikian? Karena makna bersahabat tidak sedemikian mudah untuk dipahami dan diterima secara manusiawi ketimbang persahabatan.

Kegagalan persahabatan disebabkan minimnya pemahaman tersebut. Sehingga tidak sedikit dari sekelompok kecil masyarakat kehilangan komunikasi antar sesama. Dampaknya? (kita bahas dibawah ini)

Bersahabat!, Apakah perlu?

Seperti pernyataan diatas. Bahwa bersahabat lebih rumit dari apa yang kita ketahui. Seseorang dapat bersahabat dengan baik jika memiliki kemampuan dan pemahaman yang tinggi. Dengan menyatukan segala rasa dan realitas sosial yang terjadi dari segala hal, maka kemungkinan besar akan menimbulkan sikap bersahabat. 

Terkadang pemahaman tersebut tidak selalu menjadi poin utama seseorang dalam menyelami samudra kehidupan dan pernak-pernik masyarakat. Sikap emosional yang tinggi berpengaruh pada keterlambatan dan ketidaksampaian pemahaman tersebut. (maksudnya?)

Bersahabat dengan keadaan.

Dalam konteks sosial dan budaya, kita seolah dituntut untuk menjadi seorang yang bijaksana dalam setiap tindak-tanduknya. Meskipun pemahaman tersebut bertolak belakang dari beberapa kelompok, paling tidak mereka paham terlebih dahulu apa pentingnya bersahabat?

Seseorang yang memiliki sikap dan rasa yang rendah akan selalu memalingkan segala hal yang tidak sependapat dengan dirinya. Sehingga apa yang terjadi dengan keadaan seperti itu? Yakni hilangnya sifat dan sikap manusia sebagai makhluk sosial yang tinggi.

Bagaimana dampaknya?

Penulis kutip sedikit tentang beberapa sumber, bahwa "jikalaupun mau, aku dapat merubah segala hal menjadi baik dan indah tanpa menunggu lama. Namun bukan itu, agar mereka berlomba-lomba dalam kebaikan". Setidaknya seperti itu apa yang pernah penulis dengar dan simak.

Bagaimana menurut pembaca? Apakah telah menemukan jawaban dari salah satu dampaknya?

Artinya, seseorang yang lebih memprioritaskan pribadinya dan tidak menghiraukan orang lain berarti ia lebih memilih menyiksa diri sendiri. Disisi lain daya spiritual yang rendah hanya dapat berkomentar keras tanpa memberikan upaya-upaya yang dapat di pecahkan.

Lantas bagaimana?

Bersahabat dengan segala hal.

Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut agar selalu mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri. Meskipun, dalam posisi tersebut kita merasa di rugikan atau semacamnya. Karena dengan begitu kita sendiri yang bakal menikmati hasil dari jerih payah apa yang kita tanam. 

Satu contoh jika kita tidak terbiasa dan menerima keadaan yang telah digariskan, kita sendiri yang bakal kewalahan. Mengapa demikian? Karena kita enggan untuk bersahabat dengan takdir yang telah di tentukan. Dampaknya yakni hilangnya sikap syukur dan kebaktian kita terhadap Tuhan.

Dalam kasus yang lain, terkadang kita dipertemukan dengan lingkungan dan masyarakat yang memiliki kebiasaan kurang baik di hadapan kita. Pada posisi tersebut, tentu bukan lagi suara yang bergelut melainkan pikiran, hati dan segala hal dari kita bakal berontak. Namun, apakah kita bakal memaksakan kehendak kita agar kelompok tersebut berubah dan bertindak baik? Itupun tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbangan. Lantas bagaimana?

Gunakan dan maksimalkan ruang pemberdayaan masyarakat dan diisi dengan kegiatan yang baik seperti kajian atau musyawarah bersama dalam meningkatkan lingkungan. Bukan dengan cara yang membuat kelompok lain merasa kesal ataupun terganggu hanya karena kita.

Jadi?

Semoga kita masih bisa bersahabat dengan segala hal. Bukan untuk mereka, namun untuk diri kita...

#catatan kaki:

(selalu siapkan kopi sebelum hujan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun