Mohon tunggu...
Al Fiqh
Al Fiqh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak Bangsa

Manusia alam, pembaca, penulis artikel dan puisi. Hanya sekedar gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Qurban: Kesakralan dan Pola Pikir Masyarakat

4 Juli 2022   22:46 Diperbarui: 4 Juli 2022   23:45 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: postermywall.com

Dalam sejarah kenabian, Qurban menjadi sebuah orientasi dasar dalam mencapai taqwa kepada Tuhan. Disisi lain, ketika menyibak sejarah qurban melalui beberapa sumber qurban merupakan pendidikan nilai baik dalam diri sendiri maupun dalam lingkungan masyarakat.

Permasalahan global dalam qurban menjadi dilematis tersendiri bagi perbedaan-perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya. Ibrahim yang merupakan bapak tauhid, juga sebagai manusia pertama yang mendapatkan wahyu berupa qurban. Hingga sampai saat ini qurban menjadi sebuah aturan yang begitu sakral dalam dunia Islam.

Membaca permasalahan dalam budaya masyarakat tulen, qurban hanya sebagai manifestasi dari acara makan-makan dan bersenang-senang. Memperhatikan sedikitnya masalah masyarakat, penulis ingin menyajikan sekilas tentang qurban dan pola pikir masyarakat, sebelum membaca nilai-nilai qurban itu sendiri.

Qurban & Pola Pikir

1)Makan Daging Qurban?

Ciri khas pada hari raya qurban, yakni makanan yang berserat, yakni daging. Namun, ada sedikit pertanyaan terakait dengan makan daging qurban yakni bolehkah makan daging qurban dari hasil qurbannya sendiri? Bagaimana hukumnya?

Pertanyaan diatas merupakan sebuah permasalahan yang kerap terjadi dalam masyarakat, karena pada faktanya hal tersebut memang benar-benar terjadi. Bagaimana menanggapi hal tersebut sehingga kesakralan qurban itu sendiri tidak tercemar dan berubah menjadi peluang negatif dalam diri seseorang?

Pertama, yang perlu diperhatikan yakni keberadaan qurban. Jika qurban dilakukan yakni secara Sunnah, maka tidak ada larangan. Sebaliknya, jika qurban itu di nadzar dan hukumnya menjadi wajib, maka mengkonsumsi daging qurban tidak diperbolehkan.

Kedua, qurban yang dilakukan dengan Sunnah dalam Kitab Fathul Mu’in karangan Syaikh Zainuddin Al-Malibari (II/379) beliau menegaskan bahwa:

“Dan wajib menyedekahkan daging qurban (mentah) yang dilakukan secara Sunnah, meskipun kepada 1 orang fakir miskin. Dan lebih utama bagi seseorang yang berqurban menyedekahkan seluruh daging qurbannya kecuali hanya menyisakan 1 suapan daging (bagian hati dari qurban tanpa melebihi dari 3 suapan) untuk yang berqurban dengan niat mencari keberkahan.”

Namun Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Fatawa Fiqhiyyah (V/252) menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi seorang yang melakukan qurban sunnah, mengkonsumsi daging qurban meski keseluruhan daging. Hal itu dikatakan bahwa pelaksanaan qurban merupakan orientasi dari pendekatan diri kepada Tuhannya.

Maka sudut pandang diatas didasari pada aspek Sosiologis dan Teologis.

Ketiga, qurban wajib yang bermula dari nadzar. Dari pendapat yang kuat dalam kitab Fathul Qarib (314) karya Imam Ibn Qashim, menjelaskan bahwa:

“Dan adapun qurban yang dilakukan dari nadzar maka pemilik nadzar tidak diperbolehkan dikonsumsinya sedikitpun. Bahkan wajib bagi pelaksana qurban untuk menyedekahkan keseluruhan dagingnya.”

Adapun menurut Imam Haramain & Imam Qaffal sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Raudatut Thalibin (II/488), menjelaskan bahwa:

“Adapun orang yang bernadzar dalam pelaksanaan qurban, serta pendapat yang memperbolehkan (memakan) daging qurban yakni Imam Qaffal dan Imam Haramain.”

Maka pertanyaan terakhir yakni dasar mana yang akan digunakan oleh para pelaksana qurban dari beberapa pendapat diatas?

2)Qurban sekalian Aqiqah?

Demi mempersingkat 2 pekerjaan sekaligus beberapa sebagian masyarakat melaksanakan qurban dan aqiqah secara bersamaan. Selain menghemat waktu, isi kantong bisa teratasi tanpa menguras banyak biaya.

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya?

Pertama, Ibnu Hajar dan mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut tidak cukup untuk dilaksanakan. Meskipun hal tersebut telah dilakukan, maka qurban dan aqiqah tersebut tidak sah hukumnya. Sebagaimana dalam kitabnya Tuhfah Al-Muhtaj:

“Apabila seseorang melaksanakan qurban dengan hewan berupa kambing dan sekaligus berniat aqiqah, maka hukum keduanya tidak sah. Hal itu jelas bahwa hukumnya sunnah dan memiliki tujuan berbeda. Qurban sebagai hidangan umum sedangkan aqiqah menjadi hidangan khusus. Kedua unsur memiliki perbedaan yang jelas dalam setiap permasalahan.”

Ibnu Hajar dalam kitabnya Fatawa Fiqhiyyah (V/256) menjelaskan bahwa:

“Sesungguhnya permasalahan tersebut tidak dapat saling digabungkan. Sebab keduanya memiliki kesunnahan, sebab, tujuan yang berbeda. Qurban sebagai tebusan untuk diri sendiri sedangkan aqiqah untuk tebusan seorang anak yang terlahir.”

Kedua, namun Imam Ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj (VIII/145) menjelaskan bahwa: “maka apabila seseorang melaksanakan qurban sekaligus aqiqah maka hal itu sah. Hal ini berbeda sebagaimana pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan sebaliknya.”

Pendapat ini didasari bahwa kedua hal tersebut merupakan tujuan yang sama yakni menyembelih hewan sebagai hidangan. Sebagaimana dalam qaidah fiqh yang mengatakan bahwa jika terdapat dua perkara yang sama jenis berkumpul dan tujuan keduanya tidak berbeda, maka salah satu diantaranya keduanya dapat masuk pada yang lain.

Artinya qurban dan aqiqah menjadi suatu hal yang sama baik dari tujuannya yakni melaksanakan penyembelihan sebagai hidangan maka kambing qurban dapat diniatkan aqiqah dan sebaliknya.

3)Qurban untuk yang telah meninggal?

Salah satu kebiasaan masyarakat yakni pelaksanaan qurban oleh anggota keluarga, karena selama hidupnya tidak pernah berqurban selama hidupnya.

Pertama, menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya Tuhfah Al-Muhtaj (IX/368) menjelaskan bahwasanya tidak sah berqurban atas nama seseorang yang telah meninggal apabila tidak pernah berwasiat untuk diqurbani.

Pendapat tersebut diangkat dari pernyataan bahwa qurban merupakan ibadah yang membutuhkan izin. Karena izin dari yang berqurban diperlukan agar qurban sah dan mutlak untuk dikerjakan. (Kitab Nihayatul Muhtaj: VIII/144)

Kedua, Imam Qulyubi berpendapat dalam kitabnya Hasyah Al-Qulyubi Mahalli (IV/256), bahwa Imam Ar-Rafi’i berpendapat bahwasanya qurban yang dilaksanakan atas seorang yang telah meninggal, hukumnya tetap sah, meskipun tanpa adanya wasiat yang mewakilinya dari yang telah meninggal. Hal itu didasari bahwa qurban merupakan bagian dari sedekah.

Adapun menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (VIII/406) menjelaskan bahwa:

“Adapun berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia, maka Abu Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedangkan sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu hukumnya sah, bermanfaat untuknya dan pahalanya bisa sampai padanya sebagaimana kesepakatan ulama’.”

Dengan demikian, berqurban untuk orang yang telah meninggal jika berwasiat itu hukumnya sah, namun jika tidak maka terdapat perbedaan pendapat dalam memaknai permasalahan tersebut.

4)Qurban dengan hewan yang hamil?

Seringkali terjadi dalam pelaksanaan qurban, hewan qurban yang diambil yakni hewan yang sedang hamil. Baik telah di ketahui maupun tidak sebelumnya. Maka bagaimana pendapat terkait dengan hal tersebut?

Pertama, dalam kitab Kifayatul Akhyar karya Syaikh Taqiyuddin (531) menjelaskan bahwa:

“Apakah mencukupi berqurban dengan hewan yang sedang hamil? Dalam hal tersebut terdapat perbedaan pendapat. Ibn Rif’ah berkata: pendapat masyhur yakni mencukupi. Karena kurangnya daging dapat ditambal dengan adanya janin. Pendapat lain mengatakan tidak mencukupi.”

Kedua, kebanyakan ulama’ Syafi’i berbeda pendapat yakni dengan mengatakan bahwa tidak mencukupi. Sebagaimana menurut Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam kitab Busyra Al-Karim (698):

“Qurban dengan hewan yang sedang hamil menurut qaul mu’tamad tidak diperbolehkan. Karena kehamilan hewan dapat mengurangi isi dagingnya. Dan bertambahnya daging yang disebabkan oleh adanya janin tidak dapat menambal kecacatannya.”

Syaikh Khatib As-Syarbini dalam salah satu kitabnya Mughni Al-Muhtaj (VI/128) menegaskan:

“Pendapat Imam Ibnu Rif’ah yang masyhur bahwa janin mencukupi sebagai penambal daging seperti binatang yang terpotong salah satu dari tubuhnya, ditolak dengan alasan bahwa terkadang janin tidak mencapai pada batasan layak untuk dikonsumsi. Seperti gumpalan daging dan bertambahnya daging karena janin tidak dapat dijadikan dalil dengan mengatakan hewan pincang yang gemuk.”

Sumber: pinterest/Sovrn //Commerce
Sumber: pinterest/Sovrn //Commerce

Maka pertanyaannya, dalil apa yang bakal para bembaca gunakan dalam pelaksanaan qurban terkait dengan permasalahan diatas? Sebaik-baiknya seseorang yakni yang selalu berhati-hati dalam setiap perkara. Wallahu a’lam…

Adapun nilai-nilai yang terkandung secara global dalam pelaksanaan qurban yakni berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Baik dari segi keimanan, sosial, budaya, adat, moralitas manusia. Hingga akhir kata dari penulis, Apa yang didapatkan setelah berqurban?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun