“Apabila seseorang melaksanakan qurban dengan hewan berupa kambing dan sekaligus berniat aqiqah, maka hukum keduanya tidak sah. Hal itu jelas bahwa hukumnya sunnah dan memiliki tujuan berbeda. Qurban sebagai hidangan umum sedangkan aqiqah menjadi hidangan khusus. Kedua unsur memiliki perbedaan yang jelas dalam setiap permasalahan.”
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fatawa Fiqhiyyah (V/256) menjelaskan bahwa:
“Sesungguhnya permasalahan tersebut tidak dapat saling digabungkan. Sebab keduanya memiliki kesunnahan, sebab, tujuan yang berbeda. Qurban sebagai tebusan untuk diri sendiri sedangkan aqiqah untuk tebusan seorang anak yang terlahir.”
Kedua, namun Imam Ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj (VIII/145) menjelaskan bahwa: “maka apabila seseorang melaksanakan qurban sekaligus aqiqah maka hal itu sah. Hal ini berbeda sebagaimana pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan sebaliknya.”
Pendapat ini didasari bahwa kedua hal tersebut merupakan tujuan yang sama yakni menyembelih hewan sebagai hidangan. Sebagaimana dalam qaidah fiqh yang mengatakan bahwa jika terdapat dua perkara yang sama jenis berkumpul dan tujuan keduanya tidak berbeda, maka salah satu diantaranya keduanya dapat masuk pada yang lain.
Artinya qurban dan aqiqah menjadi suatu hal yang sama baik dari tujuannya yakni melaksanakan penyembelihan sebagai hidangan maka kambing qurban dapat diniatkan aqiqah dan sebaliknya.
3)Qurban untuk yang telah meninggal?
Salah satu kebiasaan masyarakat yakni pelaksanaan qurban oleh anggota keluarga, karena selama hidupnya tidak pernah berqurban selama hidupnya.
Pertama, menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya Tuhfah Al-Muhtaj (IX/368) menjelaskan bahwasanya tidak sah berqurban atas nama seseorang yang telah meninggal apabila tidak pernah berwasiat untuk diqurbani.
Pendapat tersebut diangkat dari pernyataan bahwa qurban merupakan ibadah yang membutuhkan izin. Karena izin dari yang berqurban diperlukan agar qurban sah dan mutlak untuk dikerjakan. (Kitab Nihayatul Muhtaj: VIII/144)
Kedua, Imam Qulyubi berpendapat dalam kitabnya Hasyah Al-Qulyubi Mahalli (IV/256), bahwa Imam Ar-Rafi’i berpendapat bahwasanya qurban yang dilaksanakan atas seorang yang telah meninggal, hukumnya tetap sah, meskipun tanpa adanya wasiat yang mewakilinya dari yang telah meninggal. Hal itu didasari bahwa qurban merupakan bagian dari sedekah.