Mohon tunggu...
Alex Purnadi Chandra
Alex Purnadi Chandra Mohon Tunggu... Bankir -

Pendiri BPR Lestari. Sekarang BPR #3 se-Indonesia dr sisi asset. Membangun bisnis dari nol sejak 15 thn yg lalu. Sekarang chairman grup bisnis Lestari. www.alexpchandra.com

Selanjutnya

Tutup

Money

2015: Year of Living Dangerously

4 September 2015   09:34 Diperbarui: 4 September 2015   09:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 APA YANG HARUS KITA LAKUKAN KETIKA KRISIS?

“Senin 24 Agustus 2015, Indeks JKSE 4,163 drop 172 point dari posisi sebelumya. Terkoreksi hampir 20% dari angka tertingginya. Rupiah terkoreksi sampai 14,000 per USD-nya. Ini level terendah yang dialami oleh Rupiah sejak krisis moneter 1998”.

Akhir tahun lalu (Desember 2014) saya menulis artikel ‘Indonesia 2015: Year of Living Dangerously.’  Tulisan itu merupakan hasil diskusi dan riset sederhana di internal BPR Lestari, Bank yang saya pimpin, untuk menganalisa kondisi perekonomian kekinian, sebagai dasar kami membuat bisnis plan dan langkah-langkah strategis korporasi.

Waktu itu saya menulis bahwa, rupiah akan tetap rendah (alasannya karena defisit dan tersandera oleh isu US yang akan menaikkan suku bunga). Saya menulis rupiah akan tetap rendah, namun mudah-mudahan stabil. Saya benar separohnya, rupiah tetap rendah namun tidak stabil.

Saya menulis bahwa, bunga akan tetap mahal! Rezim suku bunga murah sudah selesai. NPL perbankan akan naik. Pertumbuhan akan melambat. The party is over!

Apa yang terjadi sekarang? Bunga mahal, NPL perbankan naik, pertumbuhan melambat, omzet usaha terkoreksi 20%-30%, rupiah terpuruk ke level terendahnya. Sektor properti yang booming tahun-tahun sebelumnya, kini halt.

Kini setelah satu semester berlalu, kami kembali mencoba mendiskusikan ‘perkembangan yang terjadi’. Berikut adalah beberapa insight yang kami simpulkan.

WHAT IS WRONG WITH INDONESIA?

Apa yang salah dengan kita? Apa bedanya Indonesia sekarang (2015) dengan 2010-2012? Apakah lebih baik, ataukah lebih jelek?

Terus terang, saya tidak bisa secara kasat mata menyatakan we are now in a worse shape dibandingkan dengan periode booming dahulu (2010-2012). Walaupun juga bukannya lebih baik.

Dari dahulu kita juga defisit, impornya kebanyakan. Tidak beda dengan sekarang. Dari dulu cadangan devisa kita ya sekitaran US$ 100 Milyar. Kagak beda dengan sekarang. Dari dulu juga kita tidak membangun infrastruktur. 

Saya beragumentasi, bahwa perlambatan ekonomi yang dialami oleh Indonesia (2103-2015) adalah siklus alami setelah periode booming 2008-2012. Ketika itu bunga murah (termurah sepanjang sejarah Indonesia), likuiditas banjir, pertumbuhan ekonomi 6%-an stabil. Kalau kita belajar ilmu ekonomi, setiap periode booming akan diikuti dengan stabilisasi dan resesi.

Setiap periode booming akan diikuti oleh market madness. Optimisme yang berlebihan dari para pelaku pasar, over investment dan spekulasi. Contohnya bisa kita lihat secara kasat mata dari bisnis properti di Bali misalnya. Harga tanah yang ‘out of the economic price’. Pembangunan hotel yang berlebih dan seterusnya. Perasaan bahwa harga akan naik seterusnya tanpa batas.

Nah, kondisi tersebut yang kita sebut sebagai ekonomi yang kepanasan. Overheated! Inflasi bisa tidak terkendali kalau tidak distabilkan.

Jadi market koreksi diperlukan sampai terjadi kestabilan yang baru. Pemerintah dan Bank Sentral memainkan peranan-nya melalui instrumen fiskal (pajak dan belanja) serta instrumen moneter (suku bunga). Dalam hal ini Bank Sentral menaikkan suku bunganya untuk slowing down the economy.

Jadi so far perlambatan ekonomi yang terjadi adalah wajar sesuai textbook.

Argumentasi saya adalah bahwa kita ini sedang mengalami ‘resesi’ setelah pesta kemarin. Hang-over-nya harus dilalui dulu. Pusing-pusing sedikit-lah. The party is over, waktunya cuci-cuci piring.

Secara fundamental, Indonesia 2015 tidaklah berbeda-beda amat dengan Indonesia 2010-2012.

Bahkan dari sisi kebijakan kita sudah lebih baik sedikit. Subsisi BBM dikurangi dan akan dialihkan ke sektor produktif. Ini berarti di tahun 2015 saja, ada sekitar 150 Triliun alokasi budget dari sekedar konsumsi BBM ke sektor yang produktif  dan lainnya.

Naiknya harga BBM akibat subsidi yang dikurangi ini akan menekan konsumsi, dan pada ujungnya akan mengurangi impor (impor kita terbesar adalah impor energi). Jadi kebijakan ini akan juga mengurangi defisit.

Positif!

TAPI KENAPA KOK JADI BEGINI?

Setiap periode ‘resesi’ secara teori harusnya pemerintah mengawalnya agar soft landing. Agar resesinya tidak sampai terasa banget. Agar pabrik-pabrik tidak sampai tutup. Agar perusahaan tidak PHK. Sampai terjadi kestabilan dan periode take off yang baru.

Namun, sayangnya, ada beberapa kebijakan pemerintah yang tidak kena dalam mengawal kita melalui periode ‘resesi ini’.

Dalam berbagai teksbook diajarkan ketika ‘resesi’, pemerintah bisa mengintervensinya melalui instrument yang dimilikinya, yaitu fiskal (pajak dan belanja) dan moneter.

Biasanya supaya ‘resesi’-nya soft dan tidak terasa, pemerintah akan mengeluarkan insentif perpajakan dan memberpesar belanja. Kalau perlu sampai berhutang.  Di sisi moneter, menurunkan bunga, supaya kredit murah, sehingga konsumsi naik dan seterusnya.

Namun,  awal-awal, pemerintah kita malah mengenjot pajak. Perusahaan yang omzetnya sedang turun, kini di-intensifkan penagihan pajaknya. Baik maksudnya namun tidak tepat timingnya.

Belanja negara bukannya diakselerasi, malahan pada semester pertama pada macet. Duitnya masih banyak tersimpan di bank-bank daerah.

Untuk instrumen suku bunga, sayangnya Bank Indonesia tidak leluasa menurunkannya karena harus ‘menjaga’  rupiah yang tertekan karena sentimen global. No option disini.

Pengalihan subsidi BBM walaupun baik maksudnya, namun ternyata salah timingnya. Kenaikan beban masyarakat akibat ‘berkurangnya’ subsidi tidak segera diikuti dengan ‘manfaat’-nya. Ada lagging disini.

Harga-harga yang naik (akibat kenaikan harga BBM) yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan (omzet perusahaan turun), membuat konsumsi turun drastis. Apalagi bunga mahal dan likuiditas ketat. Kredit seret. Tambah terpuruklah konsumsi kita.

Kita adalah negara yang ekonominya di-drive oleh konsumsi domestik. Ekspor kita tidak seberapa. Nah ketika konsumsi domestik yang turun (harga naik, bunga mahal, pendatapan tidak naik), terasa beratlah krisis ini.

WHO IS IN CHARGE?

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa pemerintah kita malah mengintensifkan pajak ditengah ekonomi yang melesu, mengapa belanja terlambat, dan mengapa pengalihan subsidi BBM tidak segera dirasakan oleh ‘rakyat jalata’?

Saya tidak ahli politik, namun ini rasanya ada kaitannya dengan efektivitas pemerintahan yang baru terbentuk. Mungkin Presiden Jokowi perlu waktu untuk mengkonsolidasikan para pembantunya supaya efektif bekerja dan tidak tumpang tindih. Contoh nyata misalnya adalah kebijakan Dirjen Pajak mengeluarkan edaran kepada Bank-Bank untuk menginformasikan besaran potongan pajak deposito pada nasabahnya. Pak Dirjen yang terlalu bersemangat ini lupa bahwa surat edarannya akan bertentangan dengan UU Perbankan mengenai kerahasiaan bank. Saya curiga ketentuan ini berefek kepada ‘capital flight’. Ini sendiri bisa menjelaskan mengapa DPK perbankan nyaris tidak tumbuh pada semester pertama. (Surat Edaran ini akhirnya dibatalkan).

Kasus dwelling time di Tanjung Priok, dimana Pak Jokowi dipresentasikan ‘simulator control’ yang palsu.  Pelarangan penjualan bir yang ujug-ujug.  Belanja yang terhambat walaupun sudah diinstruksikan berkali-kali. Adalah contoh-contoh yang kasat mata yang kita ‘rakyat’ bisa melihat betapa ‘mesin’ pemerintah tidak efektif berkerja.

Agar bisa kita melewati ‘resesi’ ini we need effective government, and we need it now!.

Kita kurang beruntung, bahwa resesi terjadi ketika pemerintahan baru terbentuk. Butuh waktu memang untuk mengkonsolidasikan ‘power.’

Dan sayangnya waktunya pak Jokowi untuk mengkonsolidasikan ‘power’-nya tidak banyak.

DEVALUASI YUAN

Satu hal yang tidak ‘terprediksi’ adalah tiba-tiba Cina mendevauasi mata uangnya. Rupiah mendapatkan tekanan tambahan. Anjlok ke level terendahnya.

Prediksi saya bahwa rupiah akan tetap lemah, terbukti, malahan tambah lemah. Harapan saya supaya rupiah stabil walaupun lemah, tidak terwujud.

Walaupun demikian saya tidak cukup mengerti, mengapa ‘jatuhnya’ rupiah begitu menggemparkan. Semua currency juga jatuh. Beberapa jatuhnya lebih parah dibandingkan rupiah. Bahkan rupiah menguat terhadap EURO dan AUD. Malaysian ringgit juga jatuh.

Mungkin karena kita ‘trauma’ dengan krismon 1998, dimana rupiah jatuh dari 2,500 ke level 15,000-an.

Jadi ketika kini rupiah menyentuh 14,000,- bayangan ‘krismon’ yang menjungkirkan langit teringat kembali.

Sebenarnya kalau diikuti logic-nya, Cina mendevaluasi yuannya, karena ekonominya melambat terus. Setelah sekian tahun tumbuh terus diatas 10%-an, 3 tahun belakangan Cina melambat terus. Tahun depan diprediksikan melambat lagi. Cina ‘kepanasan’.

Karena Cina itu enggak karu-karuan besarnya, melambatnya Cina ikut mengakibatkan menurunnya permintaan energi. Menurunnya permintaan dan juga karena anjloknya harga minyak,  makanya harga komoditi juga jatuh. 

Nah Cina mendevaluasi Yuan-nya, tujuannya agar ekspornya naik lagi. Bahkan ada kabar bunga akan diturunkan. Tujuannya supaya ekonominya pulih lagi.  Nah kalau Cina bisa revocery cepat, permintaan komoditi akan naik lagi, membantu Indonesia. Ingat enggak jaman jaya-jayanya batubara? Itu karena permintaan dari Cina lagi tinggi-tingginya, sampai-sampai kalau tidak salah Jupe-pun berbisnis batubara.

Mengenai impor yang jadi mahal, ya, kita jangan beli barang impor. Kurangi sedikit addiction to import-nya. Yang jadi masalah memang bahan baku dan beberapa bahan makanan (kedele) masih dimpor. Ya sementara jangan makan tempe. Kita punya beras, jagung, ketela, sayur-sayuran. Sapi ada, ayam ada.

Pengusaha elektronik, industri yang bahan bakunya impor memang akan terpukul.

Saya pikir, untuk masalah ‘rupiah’ ini kita tidak bisa berbuat banyak. Ini permainan global. Fokus saja bagaimana menggerakkan kembali perekenomian. Kalau pendapatan masyarakat naik, barang mahal pun kebeli.

Ayah saya selalu berkata, kita tidak perlu takut harga naik, yang kita takutkan adalah kita tidak punya pendapatan.

OKE, SEKARANG HARUS BAGAIMANA?

Sebagai pebisnis, kita tidak bisa mengubah kondisi makro. Tugas kita adalah menavigasi bisnis dan perusahaan kita mengarungi ‘topan badai’.

BPR Lestari mudah-mudahan bisa melewati ‘topan-badai’ ini dengan baik. Kita sudah bersiap-siap dari tahun kemarin. Wisdom-nya adalah ketika krisis “Cash is King”.

Likuditas kita kelola dengan prudent. Malahan cenderung boros. Policy kita untuk LDR adalah 70%-75%. Artinya kredit yang dilepas hanya berkisar 70% sampai 75%-an dari jumlah dana yang kita kelola. Yang 25%-an adalah cadangan likuiditas.

Dengan likuiditas yang ‘boros’ tadi, sampai sekarang BPR Lestari tetap menyalurkan kredit. Rencana bisnis 2015 kita tidak revisi. Ketika ‘kompetitor’ ngerem, kami terus berekspansi.

Semester pertama, Asset kami kami tumbuh 25%-an yoy dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Profit masih tumbuh 6%-an yoy. Non Performing Loan memang naik menjadi 0,9%, namun manageable dan jika dibandingkan dengan rata-rata industri, kami masih jauh lebih baik. (Posisi per Agustus malahan lebih baik lagi, NPL turun ke 0,5%, Asset tetap tumbuh 25%-an, profit membaik).

So far so good!

Seperti argumentasi saya di atas, kita menganggap secara fundamendal, Indonesia is just fine! Tidak bagus-bagus amat, namun secara fundamental tidak banyak perbedaannya dibandingkan dengan kondisi ketika booming years. Saya percaya bahwa yang kita alami adalah siklus ekonomi ‘normal’ yang diperparah karena ‘government incompetence’, sehingga market sentimen kemudian menghukum kita lebih parah dari seharusnya.

Dunia secara global memang melesu, pemicunya adalah Cina yang slowing-down. Tidak banyak yang bisa kita lakukan.

Nah ketika, konsolidasi powernya pak Jokowi selesai, pemerintah sudah take action, market juga akan melihatnya. Sentimen akan berbalik.

Jadi saya optimis, ini temporary. Bukan fundamental.  Karenanya BPR Lestari tidak merevisi bisnis plannya. Kita akan terus berekspansi sesuai dengan rencana bisnis sebelumnya.

Ketika sentimen berbalik, dana akan kembali masuk, rupiah akan menguat ke titik ekuilibriumnya yang baru. Life goes on!

Kita hanya perlu bertahan. Bahkan jika anda mempunyai pondasi yang kuat dan posisi yang benar, kemungkinan akan keluar dari krisis ini stronger than ever

Saya teringat cerita teman saya tentang orang yang dikejar beruang.

Ketika kita dikejar beruang, kita tidak perlu berlari lebih cepat dari beruang, katanya. “Kita hanya perlu lari lebih cepat dibandingkan dengan tetangga sebelah”.

Semoga bermanfaat. Salam.

 

Alex P Chandra

Chairman BPR Lestari

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun