Setiap periode ‘resesi’ secara teori harusnya pemerintah mengawalnya agar soft landing. Agar resesinya tidak sampai terasa banget. Agar pabrik-pabrik tidak sampai tutup. Agar perusahaan tidak PHK. Sampai terjadi kestabilan dan periode take off yang baru.
Namun, sayangnya, ada beberapa kebijakan pemerintah yang tidak kena dalam mengawal kita melalui periode ‘resesi ini’.
Dalam berbagai teksbook diajarkan ketika ‘resesi’, pemerintah bisa mengintervensinya melalui instrument yang dimilikinya, yaitu fiskal (pajak dan belanja) dan moneter.
Biasanya supaya ‘resesi’-nya soft dan tidak terasa, pemerintah akan mengeluarkan insentif perpajakan dan memberpesar belanja. Kalau perlu sampai berhutang. Di sisi moneter, menurunkan bunga, supaya kredit murah, sehingga konsumsi naik dan seterusnya.
Namun, awal-awal, pemerintah kita malah mengenjot pajak. Perusahaan yang omzetnya sedang turun, kini di-intensifkan penagihan pajaknya. Baik maksudnya namun tidak tepat timingnya.
Belanja negara bukannya diakselerasi, malahan pada semester pertama pada macet. Duitnya masih banyak tersimpan di bank-bank daerah.
Untuk instrumen suku bunga, sayangnya Bank Indonesia tidak leluasa menurunkannya karena harus ‘menjaga’ rupiah yang tertekan karena sentimen global. No option disini.
Pengalihan subsidi BBM walaupun baik maksudnya, namun ternyata salah timingnya. Kenaikan beban masyarakat akibat ‘berkurangnya’ subsidi tidak segera diikuti dengan ‘manfaat’-nya. Ada lagging disini.
Harga-harga yang naik (akibat kenaikan harga BBM) yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan (omzet perusahaan turun), membuat konsumsi turun drastis. Apalagi bunga mahal dan likuiditas ketat. Kredit seret. Tambah terpuruklah konsumsi kita.
Kita adalah negara yang ekonominya di-drive oleh konsumsi domestik. Ekspor kita tidak seberapa. Nah ketika konsumsi domestik yang turun (harga naik, bunga mahal, pendatapan tidak naik), terasa beratlah krisis ini.
WHO IS IN CHARGE?