Saya beragumentasi, bahwa perlambatan ekonomi yang dialami oleh Indonesia (2103-2015) adalah siklus alami setelah periode booming 2008-2012. Ketika itu bunga murah (termurah sepanjang sejarah Indonesia), likuiditas banjir, pertumbuhan ekonomi 6%-an stabil. Kalau kita belajar ilmu ekonomi, setiap periode booming akan diikuti dengan stabilisasi dan resesi.
Setiap periode booming akan diikuti oleh market madness. Optimisme yang berlebihan dari para pelaku pasar, over investment dan spekulasi. Contohnya bisa kita lihat secara kasat mata dari bisnis properti di Bali misalnya. Harga tanah yang ‘out of the economic price’. Pembangunan hotel yang berlebih dan seterusnya. Perasaan bahwa harga akan naik seterusnya tanpa batas.
Nah, kondisi tersebut yang kita sebut sebagai ekonomi yang kepanasan. Overheated! Inflasi bisa tidak terkendali kalau tidak distabilkan.
Jadi market koreksi diperlukan sampai terjadi kestabilan yang baru. Pemerintah dan Bank Sentral memainkan peranan-nya melalui instrumen fiskal (pajak dan belanja) serta instrumen moneter (suku bunga). Dalam hal ini Bank Sentral menaikkan suku bunganya untuk slowing down the economy.
Jadi so far perlambatan ekonomi yang terjadi adalah wajar sesuai textbook.
Argumentasi saya adalah bahwa kita ini sedang mengalami ‘resesi’ setelah pesta kemarin. Hang-over-nya harus dilalui dulu. Pusing-pusing sedikit-lah. The party is over, waktunya cuci-cuci piring.
Secara fundamental, Indonesia 2015 tidaklah berbeda-beda amat dengan Indonesia 2010-2012.
Bahkan dari sisi kebijakan kita sudah lebih baik sedikit. Subsisi BBM dikurangi dan akan dialihkan ke sektor produktif. Ini berarti di tahun 2015 saja, ada sekitar 150 Triliun alokasi budget dari sekedar konsumsi BBM ke sektor yang produktif dan lainnya.
Naiknya harga BBM akibat subsidi yang dikurangi ini akan menekan konsumsi, dan pada ujungnya akan mengurangi impor (impor kita terbesar adalah impor energi). Jadi kebijakan ini akan juga mengurangi defisit.
Positif!
TAPI KENAPA KOK JADI BEGINI?