“Setiap aktivitas ekonomi manusia digerakkan oleh insentif yang diterimanya” (Alex P Chandra)
Ada satu prinsip dalam ilmu ekonomi, atau bahkan dalam memahami prilaku manusia, yaitu insentif. Insentif atau dis-insentif akan menentukan manusia menentukan pilihan.
Insentif dan dis-insentif menentukan harga dan jumlah barang di pasar.
Jika permintaan turun, adalah merupakan dis-insentif bagi produsen untuk terus menaikkan produksinya. Kecenderungannya dia akan menurunkan produksi, sehingga supply menjadi lebih sedikit, dan harga akan naik.
Demikian sebaliknya, jika permintaan naik, maka para produsen akan mendapatkan insentif jika menaikkan jumlah produksinya, menambah kapasitas dan membuka pabrik-pabrik baru. Dan pada gilirannya supply menjadi berlimpah, dan jika penambahan permintaan kalah cepat dibandingkan dengan ketersediaan supply, harga akan turun kembali.
Insentif dan dis-insentif menentukan harga dan jumlah barang di pasar.
Para petani di canggu, mendapatkan hasil yang sangat tidak memadai dari hasil sawah garapannya. Apalagi dibandingkan dengan naiknya harga tanah di sekitar sana. Akibatnya insentif yang didapat dari bersawah kalah jauh dibandingkan dengan insentif yang didapatkan jika sawahnya dijual saja, dan hasilnya di-investasikan ke tempat yang lain.
Makanya anjuran untuk tidak menjual lahan persawahan di canggu akan sangat tidak efektif, karena akan bertentangan dengan human nature.
Tanah-tanah persawahan di canggu akan terus beralih fungsinya, selama insentif menjual lebih besar dibandingkan dengan insentif tidak menjual.
Prilaku manusia selalu digerakan oleh insentif atau dis-insentif yang diterimanya.
Dalam dunia korporasi, sistem reward dan insentif merupakan management tools yang digunakan untuk menggerakan perusahaan. Jika organisasinya secara konsisten memberikan reward yang benar kepada para anggota-nya yang produktif, dan secara konsisten memberikan dis-reward kepada yang tidak produktif, maka perusahaan tersebut membangun kultur kerja yang produktif. Demikian sebaliknya yang terjadi.
Jika sistem reward-nya tidak membedakan secara jelas, bahwa yang produktif dan yang tidak produktif mendapatkan hasil yang sama atau beda tipis, karyawan yang produktif akan menurun produktifitasnya, karena tidak ada insentif yang berarti yang diterimanya dengan menjadi produktif. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi penurunan produktifitas.
Sistem sosialis gagal karena tidak adanya insentif yang jelas antara yang produktif dan yang tidak produktif. Sementara kapitalis sistem sementara ini merupakan sistem yang terbaik di dunia karena insentif yang jelas. Yang berprestasi mendapat insentif dan yang tidak berprestasi mendapatkan dis-insentif. Sistem ini bring the best out of the people.
Anjuran pak SBY untuk hemat BBM tidak akan merubah prilaku masyarakat Indonesia, kalau tidak diikuti dengan insentif dan dis-insentif yang jelas.
Himbauan never works !
Segala macam ‘pengaturan’, mulai dari pembatasan mobil yang menggunakan bensin bersubsidi, penggunaan stiker, pelarangan mobil-mobil pemerintah dan BUMN menggunakan bensin bersubsidi, penggunaan IT untuk mencatat konsumsi BBM mobil-mobil di seluruh Indonesia, tidak akan efektif. Karena tidak diikuti dengan insentif atau dis-insentif yang jelas.
Biaya dan effort untuk mengawasi kebijakan ini saya bisa membayangkan luar biasa sulitnya. Penyelewengan akan terjadi dimana-mana, apalagi dengan sistem yang masih korup seperti ini. Kayaknya akan lebih banyak biaya dan tenaga daripada penghematan yang diperoleh.
Anjuran untuk mematikan lampu-lampu penerangan lebih absurd lagi. Apalagi kalau istana menjadi gelap sementara mall-mall di sekelilingnya tetap terang benderang.
Tahun 1970, dunia pernah dilanda krisis minyak. Minyak menjadi mahal. Secara otomatis, para konsumen mulai memikirkan cara agar konsumsi minyaknya menjadi sedikit. Karena boros mengkonsumsi minyak, mobil-mobil amerika kehilangan pasar. Industri mobil Jepang, karena mobil-mobilnya lebih kecil dan irit, berhasil menyalip industry mobil di Amerika.
Ada dis-insentif yang jelas jika terus menggunakan mobil yang boros, dan ada insentif yang ketara dengan beralih ke mobil-mobil yang lebih irit.
Sudah menjadi understanding yang jamak, bahwa jika harga BBM di Indonesia ditekan murah dengan subsidi, maka pengembangan energi alternatif tidak akan mendapatkan insentif, karena lebih baik pakai saja BBM bersubsidi yang masih murah.
Lebih baik menaikkan TDL bagi mall-mall daripada menghimbau mereka untuk hemat listrik. Lebih efektif. Himbauan never works !
Setiap kebijakan seharusnya memikirkan eksekusinya. Dan salah satu faktor terpenting untuk menjamin bahwa sebuah kebijakan itu dapat dieksekusi dengan baik adalah dengan pemahaman bahwa perilaku manusia itu digerakan oleh insentif dan dis-insentif.
Saya kuatir gerakan hemat energi jilid 2 ini (sudah pernah sebelumnya) akan hilang ditelan angin seperti gerakan hemat energi yang sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H