Di sini saya sengaja mengambil judul dari tayangan Apa Kabar Indonesia -- TV One (28/8), yang mengangkat tajuk Budiman ke Prabowo: "Lagu" Penculikan Bersemi Lagi?. Tapi di sini saya tidak ingin mengomentari perbincangan nara sumber terkait judul tersebut.
Di sini saya kembali diingatkan dalam sebuah obrolan meja makan bareng Prabowo Subianto di rumahnya di Bukit Hambalang, 10 tahun lalu, tepatnya 23 Oktober 2013.
Dalam obrolan meja makan tersebut, sempat saya tanyakan perihal kebenaran sebagai orang paling bertanggung jawab sebagai dalang atas peristiwa penculikkan aktivis pro demokrasi ultra kanan 1997/1998. Benarkah mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad ini orang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut?
Jawabnya, ia beberkan apa adanya dari A sampai Z sambil diselingi oleh ilustrasi dan analogis untuk memberikan pemahaman yang utuh atas peristiwa tersebut agar tidak gagal paham menginterpretasikannya, apa sebenarnya yang terjadi. Meski ada ada embel-embel yang ini off the record. Termasuk salah satunya, ia tetap simpan rapat-rapat dan tidak mau membuka "Kotak Pandora".
Siapa sejatinya paling bertanggung jawab atas operasi intelejen atas dasar perintah bawah komando operasi (BKO) yang bukan saja melibatkan Kopassus, juga melibatkan kesatuan lainnya.
Sebagai tentara dan prajurit yang banyak menghabiskan masa tugasnya di medan tempur, pastilah sangat terpukul atas apa yang menimpah diri, dicopot dan diberhentikan dari dinas militer.
Sebagai seorang tentara dan sebagai seorang prajurit, ia tetap ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang patriot, patriot sejati yang setia janji pada Sapta Marga. "Biar, ini sudah menjadi bagian tanggung jawab saya," ujarnya.
Dijadikan Senjata Rival Politik Jegal Prabowo di Pilpres
Stigmatisasi yan ditudingkan sebagai pihak paling bertanggung jawab atas kasus penculikkan aktivis pro demokrasi ultra kanan 1997/1998 terus digulirkan, diopinikan, dan terus diaransemen ulang, dilagukan dan diedarkan oleh lawan dan rival politik Prabowo, terutama jelang Pilpres. Dan ini dijadikan senjata oleh rival dan lawan politik Prabowo.
Dengan digoreng sana-sani, lagu lama ini dikais-kais, dikorek-korek, dan dipungut lagi dari keranjang sampah, lalu diopini-publikkan kembali, pastinya dengan pretensi dan tendensi politik.
Pertama, untuk membangun kembali opini publik dalam upaya melakukan pembunuhan karakter pembunuhan karakter (character assassination) atas Prabowo.
Kedua, untuk kembali mendiskreditan Prabowo dengan pembentukan opini trial by the press, entah itu lewat media, buku, atau lewat statemen-statemen yang dilontarkan oleh orang-orang yang berseberangan pilihan politik atau lawan politik Prabowo jelang Pilpres.
Ketiga, baik pembentukan opini publik maupun trial by the press, tak lain adalah dimaksudkan untuk mendiskredit-kan, menghadang dan menjegal keterpilihan Prabowo meme-nangi gelaran Pilpres.
Keempat, bukan tidak mungkin pula, keempat point tersebut kembali berulang di Pilpres 2024 untuk mendiskredit-kan, menghadang, menjegal dan mendzolimi melajunya Prabowo memenangi Pilpres 2024.
Karena ini satu-satunya yang dianggap jurus paling jitu dilagukan lagi, digoreng lagi, diopinikan lagi sebagai trial by press, sebagaimana dimediakan lagi; Budiman ke Prabowo: "Lagu" Penculikan Bersemi Lagi?.
Alex Palit, jurnalis Aliansi Pewarta Independen "Selamatkan Indonesia", penulis buku "2024 Kenapa Harus Prabowo Subianto Notonegoro"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H