Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kepemimpinan Bambu Kurung Prabowo Subianto

17 Agustus 2023   12:17 Diperbarui: 17 Agustus 2023   12:28 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini saya tidak ingin mengomentari cercaan elite politik sebuah partai politik (maaf, namanya tidak perlu sebutkan) di sebuah tayangan TV One terhadap salah seorang menteri yang juga bakal calon presiden (bacapres), di mana penonton pasti langsung bisa menangkap dan menebak siapa yang dimaksud.

Di sini saya langsung diingatkan pada bambu unik kurung. Di kalangan pengaji deling (bambu unik) Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), bambu kurung ini menyiratkan simbolisasi "mikul duwur mendem jero", kubur yang tidak baik, angkat kebaikannya.

Dengan mikul duwur mendem jero, kita tidak senantiasa terus usrek dengan selalu mengungkit-ungkit mencari catatan kesalahan, menyalahkan, menjelekkan, bahkan sampai melontarkan fitnah dengan tujuan menyerang martabat kehormatan sesorang sebagai upaya pembunuhan karakter (character assassination). 

Mari kita tanamkan kembali spirit nilai-nilai luhur warisan budaya nenek moyang; mikul duwur mendem jero. Kubur yang tidak baik, angkatlah yang baik. Adapun ruh "mikul duwur mendem jero" hendaknya juga senantiasa bersemayam dalam diri seorang pemimpin berjiwa besar dan ksatria. 

Itulah pesan dari bambu kurung "mikul duwur mendem jero" yang mana semua itu yang akan membentuk jiwa kita untuk menjadi lebih baik, pemaaf, tepo seliro, dan juga untuk menjauhkan diri dari sifat pendendam.

Dengan ngaji deling, bambu kurung mikul duwur mendem jero ini kita diajarkan pula untuk senantiasa berjiwa pemaaf, memberi maaf dan saling memaafkan.

Selain diingatkan pada filosofi bambu kurung. Saya pun lantas mengambil buku "Kepemimpinan Militer 2" Prabowo Subianto, yang didalamnya juga memuat falsafah kepemimpinan Jawa, seperti mikul duwur mendem jero dan becik ketitik ala ketara.

Dalam perspektif kepemimpinan Jawa, filosofi mikul dhuwur mendem jero, mengajarkan pada kita, hendaknya tidak menjadikan kita selalu usrek pada masa lalu. Kita harus menatap ke masa depan, bukan selalu usreg mencari kesalahan-kesalahan masa lalu, yaitu dengan mikul duwur menden jero. Karena kalau kita masih selalu usreg dengan masa lalu, mencari kesalahan-kesalahan masa lalu, sebagai pola kemunduran berpikir dan bersikap.

Kita gampang mengadili seseorang. Sementara kita sendiri terkadang tidak fair, tidak bijak dan objektif yang dengan begitu mudahnya dipengaruhi prasangka atau hanya dilandasi asumsi dalam mengadili seseorang baik lewat ujaran maupun dengan cara-cara trial by press.

Kita lebih gampang mencaci, memaki, menghujat dan mencari kesalahan dan mempersalahkan orang lain walau hanya didasari prasangka tanpa dukungan fakta dan bukti sekalipun.

Sementara kebaikan, jasa, keberhasilan, prestasi yang pernah diukir tidak pernah dipujikan dan acungan jempol, malah kalau perlu ditutup-tutupi dan dihapus seakan tak pernah ada. Dicari jeleknya buat dicaci, dihujat dan dipersalahkan, sebaliknya, baiknya atau prestasinya tidak dipujikan.  

Dalam kepemimpinan Jawa mengajarkan bahwa seorang pemimpin hendaklah juga pegang falsafah mikul duwur mendem jero. Dalam artian bahwa hendaklah seorang pemimpin menjunjung tinggi martabat dan kehormatan seseorang atas jasanya dengan mengubur sedalam-dalamnya kesalahan atas dasar pertimbangan demi kebaikan menatap ke depan.

Lewat ungkapan becik ketitik ala ketara, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, semuanya akan kembali ke proses perjalanan waktu. Biarlah waktu yang berbicara.

Adakah semuanya sebagai "kehendak sejarah" atau sebagai jalan sejarah yang harus ditempuh sebagaimana kehendak sejarah itu sendiri.

Di mana sejarah itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa dan fakta yang bisa diwacanakan, diinterpretasikan dan dinarasikan. Semua itu berpulang pada siapa yang mewacanakan, menceritakan, mengopinikan, menuliskan, memberitakan, dan menghidupi semua rangkaian peristiwa dan fakta tersebut demi kepentingan apa, untuk siapa, dan untuk apa.

Semua akan terjawab oleh proses sejarah itu sendiri yang akan membelanya seiring perjalanan waktu. Karena sejarah itu sendiri tidak pernah mati. Ia terus bergerak, becik ketitik ala ketara!

Kalaupun becik ketitik ala ketara datangnya tidak hari ini, kebenaran itu pasti datang sekalipun akan dinyatakan oleh proses waktu.

Begitupun,"Sang Rajawali dari Bukit Hambalang" tetap tegar menghadapinya dan tidak pula merengek minta dibela dikasihani. Ia tetap yakin pada pepatah filosofi hidup becik ketitik ala ketara.

Alex Palit, jurnalis musik, penulis buku, pendiri Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun