Sementara kebaikan, jasa, keberhasilan, prestasi yang pernah diukir tidak pernah dipujikan dan acungan jempol, malah kalau perlu ditutup-tutupi dan dihapus seakan tak pernah ada. Dicari jeleknya buat dicaci, dihujat dan dipersalahkan, sebaliknya, baiknya atau prestasinya tidak dipujikan. Â
Dalam kepemimpinan Jawa mengajarkan bahwa seorang pemimpin hendaklah juga pegang falsafah mikul duwur mendem jero. Dalam artian bahwa hendaklah seorang pemimpin menjunjung tinggi martabat dan kehormatan seseorang atas jasanya dengan mengubur sedalam-dalamnya kesalahan atas dasar pertimbangan demi kebaikan menatap ke depan.
Lewat ungkapan becik ketitik ala ketara, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, semuanya akan kembali ke proses perjalanan waktu. Biarlah waktu yang berbicara.
Adakah semuanya sebagai "kehendak sejarah" atau sebagai jalan sejarah yang harus ditempuh sebagaimana kehendak sejarah itu sendiri.
Di mana sejarah itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa dan fakta yang bisa diwacanakan, diinterpretasikan dan dinarasikan. Semua itu berpulang pada siapa yang mewacanakan, menceritakan, mengopinikan, menuliskan, memberitakan, dan menghidupi semua rangkaian peristiwa dan fakta tersebut demi kepentingan apa, untuk siapa, dan untuk apa.
Semua akan terjawab oleh proses sejarah itu sendiri yang akan membelanya seiring perjalanan waktu. Karena sejarah itu sendiri tidak pernah mati. Ia terus bergerak, becik ketitik ala ketara!
Kalaupun becik ketitik ala ketara datangnya tidak hari ini, kebenaran itu pasti datang sekalipun akan dinyatakan oleh proses waktu.
Begitupun,"Sang Rajawali dari Bukit Hambalang" tetap tegar menghadapinya dan tidak pula merengek minta dibela dikasihani. Ia tetap yakin pada pepatah filosofi hidup becik ketitik ala ketara.
Alex Palit, jurnalis musik, penulis buku, pendiri Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H