Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Presiden 2024: Jamur Sofis di Musim Pilpres

24 Januari 2022   15:47 Diperbarui: 24 Januari 2022   16:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pertengahan abad ke-5 SM muncul aliran baru dalam filsafat Yunani, yang berlainan sifat dan cara pandang dengan yang ada dalam berfilsafat. Aliran itu dinamai Sofisme atau Sofistik, berasal dari "Shopos" yang artinya cendekia, cerdik pandai lantaran pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki.

Gelar Sofis ini ditujukan kepada segala orang pandai apakah itu ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainya. Orang yang tersebut karena pengetahuannya dan kebijaksanaannya dinamai Sofis. Tiap-tiap guru sofis membawa pahamnya sendiri. Pahamnya sendiri pun tidak pula tetap, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang tetap, kata mereka.

Sebagai cendekia yang piawai di bidangnya, kaum Sofis akan menunjukkan atau mempertontonkan kepiawaiannya atas bidang yang ditangani dengan segala argumentasinya sehingga membuat terpesona bahkan sampai terpedaya olehnya. 

Ia bukan saja jago beretorika dan cerdik bersilat lidah dalam memainkan argumentasi, juga piawai menjajakan dan pemaparkannya dalam rangka mengkonstruksi opini publik berdasar klaim kebenaran atas dasar subjektivitas tolok ukurnya.

Kritik Platon Terhadap Kaum Sofis

Disebutkan oleh Platon, kaum Sofis adalah pakar yang benar-benar pintar dan licin cenderung licik. Mereka tahu segala macam jawaban yang dibutuhkan, dan tahu jawaban mana yang seharusnya tidak dipakai. Dan, para Sofis akan meminta imbalan biaya untuk pengetahuan yang mereka sumbangkan. 

Jadi tidak gratisan. Cara kerja kaum Sofis ini tak luput kritik dari Sokrates, Platon dan Aristoteles yang menyebabkan bahwa nama "Sofis" tidak harum, berbau jelek.

Salah satu tuduhan adalah bahwa para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Demikianlah para Sofis memperoleh nama yang jelek, hal mana masih dirasakan sampai pada hari ini.

Kisah keberadaan kaum Sofis dengan segala sepak terjangnya, bukan hanya ada di zaman Yunani Klasik, di pertengahan abad ke-5 SM. Kisah ini juga terjadi di abad XXI, bahkan terjadi di Indonesia. Antara lain terlihat di mana "kaum Sofis" ini tumbuh subur bagai jamur di musim hujan, alias tumbuh subur di musim Pilpres.

Sebagaimana disebutkan, di mana "kaum Sofis" dalam menjajakan kepintarannya kepada siapa pun yang membutuhkan jasanya dilakukan demi uang. Dengan kepintarannya berargumentasi, dengan kemahirannya bersilat lidah, dengan kejagoannya beretorika dan kepiawaiannya berwacana, mereka menjajakan dan memaparkan hasil simulasinya dalam rangka mengkonstruksi opini publik berdasar klaim kebenaran atas dasar subjektivitas tolok ukurnya.

Dengan segala kepintarannya dalam beretorika, kepiawaian berwacana dan bersimulasi, "kaum Sofis" ini melakukan pembingkaian dengan segala pencitraannya dalam rangka mengorbitkan popularitas elektabilitas tokoh politik yang bersangkutan guna meraih kesuksesan hasrat politiknya.  

           

Jamur Sofis di Musim Pilpres

Ada peribahasa menyebutkan bagai "jamur di musim hujan", ungkapan ini juga ditemui di musim pilpres, "jamur Sofis di musim pilpres". Jamur Sofis ini tumbuh subur bermunculan di musim pilpres.

Sebagaimana disebutkan oleh Platon, kaum Sofis adalah pakar yang benar-benar pintar beragumen, mahir bersilat lidah, jago retorika dan piawai berwacana dengan segala teori maupun metodologis yang digunakannya sebagai klaim kebenaran, walau boleh jadi yang disampaikan itu keliru, atau malah menyesatkan. Dalam berwacana, kaum Sofis mencoba mempersuasif, tidak peduli benar tidaknya wacana tersebut.

Dan, keberadaan "kaum Sofis" juga ditemui dan tumbuh subur, salah satunya saat musim Pilpres. Dengan segala sepak terjangnya "kaum Sofis" membangun wacana dalam rangka menggiring opini publik demi kepentingan politik pragmatis tokoh unggulannya. 

Meski dalam operasionalisasinya "kaum Sofis" satu sama lain beda metodologis, tetapi pada finalisasinya mereka bisa ber-satu padu atas dasar "orientasi nilai" atau "orientasi kepentingan" melakukan framing demi kesuksesan hasrat kuasa tokoh politik yang bersangkutan. 

Pepatah mengatakan "pengalaman adalah guru terbaik". Terkait musim "jamur Sofis di musim Pilplres", hendaknya sepak terjang "kaum Sofis" disikapi dengan kritis atau kalau perlu secara skeptisisme agar tidak terjebak tipu daya simulasi pencitraan, mengulang kesalahan yang sama terjatuh (lagi) di kubangan lumpur yang sama.

Alex Palit, citizen jurnalis, pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Surya (Surabaya) dan Persda Kompas -- Gramedia (Jakarta). Penulis buku "Sang Presiden 2024".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun