Begitu pun dengan "Kami Makan Apa...?", yang dinyanyikankan Elpamas pada intinya adalah sebagai ekspresi kesenimanannya. Dari syair atau puitisasi bait-bait lirik di lagu tersebut -- atau bahkan nada-nada itu sendiri -- terkandung pesan yang ingin disampaikan oleh sang musisi atau pencipta lagu tersebut lewat bahasa musik untuk kemudian diinterpretasikan, diterjemahkan, dimaknai dan diapresiasi dalam konteks zaman, kemarin, kini dan esok.
Musik itu sendiri tidak pernah mati. Ia akan terus hidup mengatasi ruang dan waktu, kemarin, kini dan esok, menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang ada.
Termasuk, adakah lagu yang dirilis 29 tahun lalu, di tengah pemberlakuaan PPKM masih relevan atau menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang terjadi saat ini. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat di lagu "Kami Makan Apa...???":
Naluri manusia berkumpul, berkata-kata
Berucap, berteriak, berkesimpulan
Kenyataan di sana terbalik dan berubah
Larangan dan aturan jadi transparan
La-la-la-la, la-la-la-la-la-la ooh ya
Di manakah harapanÂ
Yang pernah engkau janjikan? Euw, euw
Kenyataan di sini kami harus makan nasi
Kadang ada debat yang memuncak
Kadang ada suara yang sumbang
Kadang ada suara pasrah, yah
Kadang ada suara chord, setuju
Jangan kau usik kehidupan kami
Jangan kau rampas hak kami
Jangan kau usik kehidupan kami
Jangan kau kuras perut kami
Oh, di mana harapanÂ
Yang pernah engkau janjikan? Teot teblung
Kenyataan di sini kami harus makan nasi