Oh, di mana harapan yang pernah engkau janjikan? / Teot teblung / Kenyataan di sini / Kami harus makan nasi. Itulah penggalan cuplikan lagu judulnya "Kami Makan Apa...?" ciptaan Didik Sucahyo, Toto Tewel dan Rush Tato, liriknya ditulis Son Takdir, milik Elpamas.
Entahlah, apakah judul lagu "Kami Makan Apa...?" kini menjadi jerit para personil Elpamas, atau malah menjadi jerit banyak musisi yang tidak bisa manggung mencari nafkah lantaran PPKM. Atau malah sudah jadi jeritan musisi atau pegiat seni yang tidak bisa lagi manggung mencari nafkah di tengah terjadinya pageblug Covid-19 yang melanda negeri ini.
Atau bahkan "Kami Makan Apa...?" juga menjadi jeritan "orang pinggiran" pekerja sektor informal yang terpapar oleh penyekatan atau pembatasan beraktivitas mencari nafka penghidupan lantaran digelarnya PPKM.
"Kami Makan Apa?"Â adalah salah satu lagu sekaligus gacoan album ketiga Elpamas dengan formasi Ecky Lamoh (vokal), Toto Tewel (gitar), Didik Sucahyo (bas), Rush Tato (dram) dan Edi Darome (kibor), yang dirilis tahun 1993 di bawah bendera Logiss Records.
Tiba-tiba di tengah pemberlakuan KKPM yang diperpanjang lima hari sampai 25 Juli, saya kembali teringat kembali oleh lagu yang dirilis 29 tahun lalu. Di sini saya sengaja tidak menuliskan perpajangan akronim KKPM. Mohon pembaca sendiri memberi kepajangan akronim KKPM. Karena di tengah pemberlakuan PPKM, di kalangan masyarakat, akronim tersebut banyak diplesetkan multi arti dan makna.
Kala itu saya bekerja di Persda Kompas Gramedia -- Jakarta. Sebagai wartawan peliput musik dan hiburan, saya cukup akrab berteman dengan para personil Elpamas, grup band rock asal Pandaan -- Jawa Timur, yang pernah memenangi juara pertama Festival Rock se-Indonesia II (1985) yang digelar Log Zhelebour.
Sebagai wartawan, saat Elpamas rekaman album ketiganya, saya pun bersama Remy Soertansyah (alm) sempat main ke GIN Studio, Tomang - Jakarta. Saya diminta oleh Log Zhelebour untuk bikin pers rilis, juga sempat meliput tour show "Crystal in Concert '93" saat manggung di Lampung dan Makassar.
Kami Makan Apa...?
Bagi musisi, musik itu sendiri tak bedanya sebagai media komunikasi yang bisa bermakna lebih dari sekadar rangkaian instrumentasi bunyi. Karena musisi tak beda dengan jurnalis yaitu sama-sama sebagai pewarta.Â
Kalau jurnalis mewartakan kesaksiannya lewat bahasa tulisan, sedang musisi merekam hasil amatannya lalu diolah dengan segenap imajinasi seninya kemudian diekspresikan dan dituangkan lewat bahasa musik, lagu, dan nyanyian.
Dengan bahasa musik, ia mengekspresikannya, apa itu lewat ungkapan puitisasi syair lirik lagu -- atau nada-nada itu sendiri -- yang mana didalamnya bisa berupa tuangan cerita, pesan, harapan, kritik, bahkan pernyataan sikap, atau apapun itu. Sebagai karya seni, musik pada hakikatnya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Begitu pun dengan "Kami Makan Apa...?", yang dinyanyikankan Elpamas pada intinya adalah sebagai ekspresi kesenimanannya. Dari syair atau puitisasi bait-bait lirik di lagu tersebut -- atau bahkan nada-nada itu sendiri -- terkandung pesan yang ingin disampaikan oleh sang musisi atau pencipta lagu tersebut lewat bahasa musik untuk kemudian diinterpretasikan, diterjemahkan, dimaknai dan diapresiasi dalam konteks zaman, kemarin, kini dan esok.
Musik itu sendiri tidak pernah mati. Ia akan terus hidup mengatasi ruang dan waktu, kemarin, kini dan esok, menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang ada.
Termasuk, adakah lagu yang dirilis 29 tahun lalu, di tengah pemberlakuaan PPKM masih relevan atau menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang terjadi saat ini. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat di lagu "Kami Makan Apa...???":
Naluri manusia berkumpul, berkata-kata
Berucap, berteriak, berkesimpulan
Kenyataan di sana terbalik dan berubah
Larangan dan aturan jadi transparan
La-la-la-la, la-la-la-la-la-la ooh ya
Di manakah harapanÂ
Yang pernah engkau janjikan? Euw, euw
Kenyataan di sini kami harus makan nasi
Kadang ada debat yang memuncak
Kadang ada suara yang sumbang
Kadang ada suara pasrah, yah
Kadang ada suara chord, setuju
Jangan kau usik kehidupan kami
Jangan kau rampas hak kami
Jangan kau usik kehidupan kami
Jangan kau kuras perut kami
Oh, di mana harapanÂ
Yang pernah engkau janjikan? Teot teblung
Kenyataan di sini kami harus makan nasi
Kadang ada debat yang memuncak
Kadang ada suara yang sumbang
Kadang ada suara pasrah, ah
Kadang ada suara chord, setujuuu...
Alex Palit, jurnalis musik, penulis lirik lagu "Dongeng" di album "Dongeng -- Elpamas (2000)" dan penulis buku sejarah musik "Festival Rock se-Indonesia -- Log Zhelebour".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H