Bab akhir Jangka Jayabaya menyebutkan bahwa sosok Ratu Adil bersenjatakan "Trisula Wedha". Secara semiotik, mengartikan siapa pun itu sosok pemimpinnya haruslah dibekali atau membekali diri senjata "Trisula Wedha".
Yang dimaksud bersenjatakan trisula di sini merupakan simbolisasi penggambaran watak atau kepribadian seorang pemimpin yaitu memiliki kepribadian:Â benar, lurus dan jujur. Benar, bahwa seorang pemimpin harus berdiri di atas kebenaran dan demi kebenaran, bijak, adil, dan tidak berat sebelah. Lurus, menjalankan segala tugasnya sesuai aturan hukum yang ada. Jujur, tidak salah gunakan kuasanya jabatan.
Ketiga watak "Trisula Wedha" ini harus dipunyai oleh seorang pemimpin. Sekaligus menjadi ageman yang melekat dan menyatu pada diri seorang pemimpin, sehingga membentuk karakter utama "Ratu Adil", yaitu: benar, lurus, jujur.
Para kawula padha suka-suka
Amarga adiling Pangeran wis teka
Ratune nyembah kawula
Agegaman Trisula Wedha
Bener, lurus, jujur
Disebutkan pula, bahwa figurisasi Ratu Adil adalah sosok pemimpin merangkum tiga karakter kepemimpinan;
Pertama, berkarakter Satria Bayangkara yaitu sosok pemimpin yang memiliki kewibawaan dengan bersikap tegas, adil, mengayomi rakyatnya, juga berjiwa pemaaf terhadap lawan-lawan politiknya dengan spirit tepo seliro dan mikul dhuwur mendhem jero.
Kedua, berkarakter Satria Panandita adalah sosok pemimpin yang tidak korup, menjunjung nilai-nilai etika dan moralitas, religius, dan amanah dalam mengemban tugas demi kesejahteraan rakyat.
Ketiga, berkarakter Satria Raja adalah sosok pemimpin berjiwa ksatria dan negarawan yang mengabdi demi rakyat.
Dalam Jangka Jayabaya disebutkan pula bahwa sosok Ratu Adil ini diisyaratkan berwatak "Baladewa". Dalam dunia perwayangan, Baladewa digambarkan sebagai sosok ksatria yang berwatak temperamental tetapi berjiwa pemaaf dan bijaksana. Meski dikenal memiliki watak temperamental, tapi bila berbuat salah berbuat salah tak segan-segan mengakui kesalahannya, dan dengan legowo ia selalu minta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya. Ia dikenal tidak memiliki sifat pembenci dan pendendam kepada siapa pun.
Dalam suatu masa, adalah sebuah kewajaran di tengah amenangi zaman edan bila kemudian rakyat mendambakan eskatologis amenangi zaman Ratu Adil yang diharapkan membawa transformasi perubahan terciptanya tatanan kehidupan yang lebih baik, ke luar dari masa kalebendu, ke zaman keemasan (kalasuba).
Adalah sebuah kewajaran di tengah amenangi zaman edan bila rakyat mendambakan eskatologis amenangi zaman Ratu Adil, zaman kalasuba, menyongsong zaman keemasan, yang akan membawa kesejukan, ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian, mampu membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, sehingga wong cilik iso gemuyu.
*) Artikel ini dicuplik dari buku "Ngaji Deling -- Ratu Adil", penulis Alex Palit.