Tetapi karena panti berada di kompleks Istana Negara, dan lahan tersebut akan menjadi area perkantoran pemerintah, tahun 1953 pemerintah menyediakan tempat di Jakarta Timur yang kini menjadi gedung ketiga panti. Kala itu pemimpin panti adalah M.A.Pelaupessy, Menteri Penerangan dalam Kabinet Natsir.
"Kami tetap pakai nama Parapattan untuk mengenang sejarah panjang panti ini meskipun sekarang kami sudah jauh dari Prapatan di Jakarta Pusat," kata  Kristina. Pada tembok di ruang tamu panti terdapat tiga buah prasasti dalam bahasa Belanda. Ketiganya ditulis dan untuk memperingati 25 tahun, 50 tahun dan 100 tahun usia Panti Parapattan. Dan gara-gara panti ini pindah ke Jakarta Timur, nama jalan di depannya pun diberi nama Jalan Panti Asuhan.
Menurut Kristina, kalau mau jujur, tak ada seorang anak pun yang ingin tinggal di panti asuhan. Panti bukan tempat yang baik bagi perkembangan mereka. "Tetap yang paling ideal adalah rumah dan orang tua. Namun ini yang terbaik bagi mereka," ujarnya.
Karena itu anak-anak yang tinggal di Panti Parapattan sedapat mungkin harus merasakan suasana keluarga. Bagi yang masih mempunyai orang tua atau keluarga, ada jadwal berkunjung sebulan sekali. "Supaya mereka jangan lupa pada akarnya. Agar mereka tetap memiliki hubungan dengan orang tua dan keluarganya," kata David Mewengkang, salah satu dari 6 pengasuh di sana.
Selektif
Meskipun mereka mengasuh anak-anak berlatar belakang yatim-piatu, anak-anak dari keluarga retak dan keluarga miskin, namun pembina panti sangat selektif memilih. Salah satu syaratnya adalah inteligensi mereka tidak boleh di bawah angka 100. Panti mengadakan test untuk mengukurnya. Hal ini dilakukan, kata Kristina, karena mereka bertanggungjawab menyekolahkan anak panti sampai tingkat sekolah menengah atas. Bahkan beberapa orang yang berprestasi bagus dibiayai sampai perguruan tinggi. "Kami baru melepas mereka kalau sudah benar-benar mandiri," ujarnya. Â
Namun syarat ini bukan harga mati. Bila anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pembina langsung turun tangan. "Kalau terjadi kekerasan di dalam keluarganya, syarat IQ kami lewati saja. Ini kondisi sudah darurat," kata Kristina.
Kristina dan David membawa saya berkeliling. Masuk, kami melewati selasar yang menghubungkan gedung utama di depan dan beberapa unit bangunan di belakangnya. "Ini ruang makan yang sedang kami renovasi. Sangat parah kerusakannya," ujar Kristina. Ia menunjuk bangunan yang telah dibongkar. Beberapa tukang sedang menaikkan bata.
Panti putra dan putri dipisah oleh taman. Â Kedua bangunan ini sama tuanya dengan bangunan induk di depan. Bahkan pada panti putra ada beberapa plafon yang telah bolong dimakan usia. Kondisi panti putri tak jauh berbeda. Kristina dan David hanya berharap ada donatur yang bisa membantu mereka untuk merenovasi kedua gedung tersebut.
Biaya Besar
Menurut Kristina, untuk biaya sekolah dan operasional panti setiap bulan mereka membutuhkan tak kurang dari Rp 100 juta. Â "Paling besar memang biaya pendidikan, lalu makan dan operasional panti," ucapnya.