Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Anak-Anak Brazil yang Bermain Bola dengan Gembira

25 November 2022   12:50 Diperbarui: 25 November 2022   19:57 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerang Timnas Brazil, Richarlison (AFP/Nelson Almeida via Kompas.com) 

APALAH arti sepak bola jika tidak dimainkan dengan kegembiraan? Itulah keyakinan anak-anak Brazil dalam bermain sepak bola. Itu pula yang mereka lakukan ketika menaklukkan Serbia 2-0 pada penyisihan Grup G di Stadion Lusail Iconic, Doha, Qatar,  Jumat (25/11/2022) dinihari WIB. Kegembiraanlah yang membuat striker mereka Richarlison mencetak brace dan salah satunya dengan tendangan akrobatik sembari bersalto.

Nama Richarlison memang belum sementereng Neymar (PSG) atau Rodrygo dan Vinicius Jr (Real Madrid). Apalagi jika dibandingkan para seniornya Pele, Garincha, Romario, Ronaldo, Kaka, Ronaldinho dan nama-nama lainnya. Tetapi apalah arti sebuah nama, meski menyebut sekuntum mawar dengan nama lain wanginya akan tetap semerbak demikian kata-kata Juliet ketika merindukan kekasihnya Romeo dalam drama penuh tragedi Romeo and Juliet maha karya Shakespeare.

Dan tragedi hampir merenggut impian Richarlison bermain di Piala Dunia (PD) 2022. Ketika melawan Everton bekas klubnya dalam lanjutan Liga Inggris pada 15 Oktober 2022 ia mengalami cedera betis parah. Usai pertandingan itu ia terlihat berjalan memakai kruk. Padahal Piala Dunia tersisa sebulan lagi akan digelar.

"Saya hancur. Saya sangat dekat dengan realisasi mimpi saya. Terakhir kali saya mengalami cedera ini, saya absen selama dua bulan," ujarnya putus asa, seperti dikutip Kompas.com dari BolaSport AS. Harapannya untuk masuk ke dalam tim yang dibawa pelatih Tite ke Qatar sangat tipis. Sebab untuk posisi penyerang sepertinya, Brazil tak pernah kekurangan pemain.  

Namun Tite tetap memasukkan nama Richarlison. Dia yakin strikernya ini  akan pulih meskipun belum seratus persen saat PD akan digelar. "Dia seperti bisa mencium aroma bola akan datang dari sisi mana. Instingnya sebagai pembunuh di depan gawang lawan sangat tajam. Tim sangat perlu tenaganya," kata Tite memberi alasan. 

 "Saya benar-benar gugup," kata Richarlison ketika mendengar namanya tetap disertakan oleh sang pelatih.

 "Piala Dunia adalah mimpi dari mimpi. Saya sangat takut," ungkapnya lagi.

Bermain bola membela nama baik negara adalah tujuan paling tinggi setiap pemain Brazil. Semahal apapun nilai transfer mereka, jika belum membela timnas terasa tak ada artinya.

"Membela Timnas tak bisa diukur dengan uang sebanyak apapun. Membela Timnas adalah impian semua pemain dan menjadi sebuah kebanggaan yang akan dikenang bahkan ketika kita sudah meninggal dunia. Bahkan kalau tangan atau kaki saya patah dan hanya disuruh duduk di bangku cadangan oleh pelatih, akan saya lakukan," kata legenda hidup Brazil, Pele, yang telah mempersembahkan tiga trofi Piala Dunia untuk negaranya Brazil, 1958, 1962 dan 1970.

Seperti kebanyakan pemain Brazil yang lain, Richarlison lahir dari keluarga sangat miskin di kota Nova Venecia pada 10 Mei 1997. Kota ini terkenal sebagai kota yang "gelap" karena penuh dengan pengedar narkoba, lokalisasi dan tembak-menembak antar geng. Menurut Richarlison, seperti dilansir BolaSport AS, tidak sedikit teman masa kecilnya yang terjerumus ke dalam dunia gelap peredaran narkoba. Ketika kecil, kata dia, kepalanya bahkan pernah ditodong sebuah pistol karena dituduh merupakan anggota geng dan telah mencuri sesuatu.

Perjalanan kariernya pun tidak mulus. Ia pernah ditolak banyak klub lokal Brazil meskipun badannya atletis dan tinggi. Ketika akhirnya bisa bergabung dengan klub America MG di Belo Horizonte, Brazil, dia harus mempertaruhkan seluruh uangnya untuk mengikuti seleksi. Dan jika tidak berhasil, dia tidak akan bisa pulang.

"Saya hampir berhenti dari sepak bola, tetapi saya tetap teguh dan pergi ke Belo Horizonte hanya dengan uang yang cukup untuk perjalanan ke sana untuk uji coba terakhir saya dengan America MG," kata Richarlison. "Jika saya tidak berhasil, saya tidak akan punya cukup uang untuk pulang ke Espiritu Santo, 600 kilometer dari sana," tuturnya.

Tetapi menjadi pemain America MG tidak membuatnya segera mendapatkan uang yang cukup. Dia harus bekerja sebagai penjual permen dan es krim untuk membantu keuangan keluarganya.

Barulah ketika Fluminense melihat cara bermainnya yang bagus di America MG, klub liga utama Brazil itu merekrutnya pada 2016. Bintang Richrlison mulai bersinar,  dan Watford klub kasta kedua Liga Inggris membelinya, sebelum pada Juli 2018 ia ditebus oleh Everton yang berada di Liga Utama Inggris. Dalam catatan klub Everton,  Richarlison merupakan pemain termahal yang pernah mereka miliki dengan harga sekitar 769 miliar rupiah. Di Inggrislah Richarlison menjelma menjadi salah satu pemain hebat, sebelum Tottenham Hotspur membanderolnya dengan harga hampir satu triliun rupiah.

Begitulah hukum tak tertulis yang melekat dalam sanubari anak-anak Brazil.  Mengolah si kulit bundar adalah bagian dari kegembiraan bersama. Maka mereka bahu-membahu menggalang pertahanan atau menyerang daerah musuh. Dengan bermain sepak bola juga mereka boleh sejenak melupakan kemiskinan yang pernah atau sedang melilit mereka. Dengan bermain bola mereka merasa senasib sepenanggungan. Lapangan menjadi tempat di mana perbedaan klub, tinggi bayaran, dan berbagai perbedaan luruh. Perasaan gembiralah yang memungkinkan hal itu terjadi.

"Kalau kita bermain dengan hati yang gembira, tanpa tekanan, seluruh potensi diri kita akan keluar di lapangan. Kita dapat bertahan dengan baik dan dapat menyerang dengan baik pula, karena ada kebersamaan di sana," kata Pele.

Dinihari tadi usai peluit panjang ditiup wasit, Richarlison tampak seperti gamang. Apakah benar dia sedang berada di lapangan atau hanya bermimpi? Sebab itu dalam wawancara dengan FIFA usai laga itu, dia hanya tampak termangu, diam tak bersuara.

"Ini mimpi masa kecil yang menjadi kenyataan," ujarnya kepada TV Globo dari Brazil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun