Salah satu peneliti dan penulis sejarah tentang Jakarta yang sangat saya kagumi adalah Pastor Adolf Heuken,SJ (1929-2019). Ketika masih suka "berkeliaran" di lapangan untuk meliput, salah satu tokoh yang saya cari adalah beliau. Suatu kali pada 2012 saya menemuinya di kediamannya di Jalan Mohammad Yamin 37, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu sekaligus menjadi kantor Yayasan Cipta Loka Caraka yang menerbitkan buku-buku karya Romo Heuken, demikian Adolf Heuken disapa. Â Rumah yang dibangun pada 1934 itu masih berdiri sampai kini.Â
Romo Heuken dikenal karena buku-buku penting yang ditulisnya seperti Kamus Indonesia-Jerman dan buku mengenai sejarah Jakarta, antara lain Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Gereja-gereja Tua di Jakarta dan Historical Sites of Jakarta yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk kalangan Gereja Katolik ia menulis Ensiklopedia Katolik dan Jungen fr Christus: Ein Buben-Buch bersama Roman Bleistein.
Ketika tiba di Indonesia pada 1963, ia menetap di Paroki Mangga Besar, Jakarta. Di sekitar gereja terdapat banyak gedung tua. Heuken mengaku penasaran, bagaimana latar belakang berdirinya gedung-gedung itu?
"Saya bertanya pada orang-orang tetapi jawabannya tidak seragam. Saya berpikir, yang benar yang mana? Misalnya Gereja Sion kok disebut Gereja Portugis? Tetapi kok gereja Protestan? Bukankah kalau Portugis, mereka akan membangun gereja Katolik?"
"Ada yang bilang orang Portugis yang bangun gereja itu. Tapi Portugis tidak pernah berkuasa di Jakarta. Sejak dulu sampai sekarang gereja itu adalah gereja Protestan. Terus saya telusuri lewat buku dan naskah-naskah yang ada, bagaimana gereja seperti ini bisa tumbuh atau ada di samping Kota Tua? Ternyata, ceritanya itu Belanda melawan Portugis karena rebutan rempah-rempah. Lalu tawanan orang Portugis dari Indonesia Timur dibawa ke sini dan menjadi budak. Mereka dijanjikan, kalau jadi Protestan akan dibebaskan. Mereka disebut Mardjikers. Lalu dibangun gereja untuk beribadat dalam bahasa Portugis. Maka, muncul gereja Protestan dalam bahasa Portugis," terang Heuken.
 Demikian pula dengan Museum Bahari. Menurut Heuken, banyak orang mengatakan bahwa gedung tersebut adalah bekas benteng pertahanan. Namun Heukeun ragu: Tidak mungkin benteng berada di sebelah kiri sungai Ciliwung, karena sudah berada di luar kawasan Kota Tua. Atau Stadhuis disebut sebagai pusat pemerintah VOC. Ini tidak mungkin karena pemerintah VOC pasti berada di benteng, bukan Stadhuis.
"Banyak jawaban yang tidak memuaskan saya. Karena itu saya berusaha untuk mengetahui sejarahnya. Inilah awalnya saya mulai mencari latar belakang gedung-gedung tua," kata dia.
Mula-mula terbit buku  Historical Sites of Jakarta dalam bahasa Inggris sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini membahas Jakarta pada umumnya. Tetapi Heuken ingin yang lebih khusus lagi, misalnya tentang Menteng.
"Saya waktu itu sudah tinggal 30 tahun di Menteng dan ingin tahu mengapa Menteng berbeda dengan pemukiman lainnya di Jakarta. Ternyata Menteng ini merupakan 'kota taman' pertama di Indonesia," jelasnya.
Sejarah perubahan nama Batavia menjadi  Sunda Kelapa dan  kemudian Jakarta tak luput dari penelitian Heuken. Ada rupa-rupa cerita. Timbul pertanyaan kenapa dan kapan berubah menjadi Jakarta? Ada yang bilang, kata dia,  bahwa Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Raja Hindu yang ada di Padjajaran, sekarang Bogor, lalu mengalahkan armada Potugis kemudian ini disebut Djayakarta.
Tetapi menurut Heuken, kisah di atas ini hanya dongeng. Tak ada buktinya. Fatahillah menurut dia, memang datang dan merebut Sunda Kelapa, jadi dia berperang melawan Padjajaran. Portugis hanya datang dengan dua kapal untuk berdagang. Satu kapal kandas, 30 orang berenang ke pantai dan dibunuh, sementara yang lain pergi. Lalu datang beberapa kapal lagi tapi tidak diijinkan mendarat.
"Tetapi ini memang dua kejadian yang penting. Bila berdasarkan kedua peristiwa ini, tidak ada alasan untuk menyebut kota ini sebagai Jakarta. Sebab baru 30 tahun sesudah penaklukan itu nama Jakarta dipakai. Tidak ada bukti sejarah apapun bahwa Fatahillah menamakan kota yang ia rebut itu Djajakarta. Bukti kapan tahun kelahiran Jakarta pun tidak ada."
"Hal ini membuat saya mencari sumber sejarah dan saya tuliskan dalam tiga buku. Buku pertama mencakup periode sebelum Belanda datang, buku kedua berisi tentang Djayakarta direbut oleh Belanda, dan buku ketiga membahas tahun-tahun pertama Djayakarta sampai Sultan Agung mengepung Djayakarta dan akhirnya pulang ke Jawa Tengah. Ketiga buku ini berisi dokumen asli dalam bahasa Sansekerta, Tionghoa, Belanda, Jerman dan lainnya. Saya menerjemahkannya sehingga pembaca bisa menentukan mana yang benar."
Kesadaran Melestarikan Bangunan Kuno
Heuken salah satu yang paling vokal terhadap Pemerintah DKI Jakarta yang 'gemar' membongkar bangunan kuno untuk diganti bangunan modern kala itu. Meskipun Pemerintah memiliki dinas khusus yang menangani masalah bangunan kuno, namun menurut Heuken mereka tidak memiliki keahlian untuk melakukan pemugaran. Dalam memugar, kata dia, Â sedapat mungkin yang lama yang harus dipertahankan keasliannya.
"Saya pernah menjadi anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (TPAK P2B) DKI Jakarta. Tapi sekarang sudah lama saya tidak terlibat lagi. Pusing saya. Pak Fauzi (Fauzi Bowo, Gubernur DKI) bilang tolong jaga supaya mereka jangan main bongkar gedung kuno. Tapi apa yang terjadi? Mereka main bongkar saja. (Itu berarti) Mereka tidak tahu apa-apa tentang Jakarta dari segi kebudayaan dan sejarah. Mereka tidak tahu apa-apa. Hanya tahu perhitungan teknik saja."
"Coba lihat Buddha Bar itu dibongkar, dan tinggal sedikit yang asli. Saya tak melarang orang bikin rumah. Silakan saja kalau Anda mau bikin rumah baru. Tapi harus jaga, misalnya ini kawasan tipe B, maka saya akan mempertahankan bagian luarnya dan bagian dalamnya saya ubah. Kalau Anda mau bangun sesuatu yang megah silakan ke Tangerang atau luar Jakarta. Jangan di Menteng yang ada akar sejarahnya. Saya tidak mengerti, orang-orang yang punya duit ini kok norak sekali? Sekarang banyak gedung norak di Menteng."
Gereja-Gereja Tua
Gereja-gereja  tua di Jakarta menurut Heuken hampir semuanya sudah hancur. Dahulu di daerah Kota ada empat gereja tetapi semuanya sudah hancur. Tersisa satu yang bertahan yakni Gereja Sion. Ada pula Gereja Anglikan, Gereja Tugu dan Gereja Bundar Immanuel. Gereja-gereja yang tersisa ini menurutnya punya sejarah yang baik, gedung maupun umat di sekitarnya.
"Tahun 1960 itu Gereja Sion mau dibongkar. Mau dibikin pabrik. Mohammad Yamin yang menggagalkannya. Yamin, yang muslim, bilang tidak boleh. Dia bilang, ini gedung bersejarah," kata Heuken. Gereja Sion adalah gedung tertua di Jakarta, yang masih digunakan untuk maksud didirikannya yakni sebagai tempat beribadat. Gereja Sion dibangun 1692.
=000=
Setiap selesai menjawab satu pertanyaan saya, Heuken selalu memberi tantangan: "Apa lagi yang perlu Anda ketahui?" Dan kisah kembali mengalir tentang Jakarta tempo dulu.
"Kita memberi tempat pada mitos dan dongeng tentang Jakarta. Tetapi itu bukan sejarah. Karena sejarah harus ada buktinya," tegas Heuken lagi.
Misalnya, tentang hari jadi Jakarta yang dianggap jatuh pada 17 Juni 1527. "Tidak ada dokumennya. Kalau orang mau berdasarkan mitos, silakan. Tapi jangan diwariskan kepada generasi muda sebagai sejarah. Saya tidak mau menceritakan dongeng sebagai sejarah. Maka saya cari fakta sejarah," ujarnya .
Mencari fakta sejarah. Itulah yang dilakukan Pastor Heuken sejak pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Ia terusik melihat banyak situs sejarah yang dilupakan bangsanya sendiri. Kecintaannya kepada sejarah, membuatnya tak henti mencari jawaban. Pencarian pun dimulai dengan berburu buku-buku lawas dan arsip-arsip kuno tentang Batavia. Dokumen itu lalu ia gunakan untuk menyaring sekelumit informasi dari masyarakat sekitar.
Rasa penasaran Adolf atas seluk beluk bangunan tua di Jakarta perlahan terjawab. Lembar demi lembar jawaban pun akhirnya terkumpul dalam jilid buku 'Historical Sites of Jakarta'.
Karyanya ternyata cukup diminati dan menjadi rujukan para penikmat sejarah. Buku itu terjual lebih 20 ribu eksemplar. Bahkan, dua edisinya diterbitkan Times International Singapura. "Itu artinya, saya bisa memberikan sumbangsih pengetahuan soal sejarah Ibu Kota ini," ujarnya.
Sejak menetap di Jakarta, lebih 200 buku ditulis olehnya. Sedikitnya 12 buku bercerita tentang sejarah Jakarta, selebihnya buku-buku tentang filsafat, gereja, dan ensiklopedia.
"Saya sudah menulis 12 buku tentang Jakarta. Bisa sampai 20 sebenarnya. Gampang sekali. Bahannya ada. Tapi ya saya sudah tua begini. Dan waktunya barangkali terbatas. Terus saya susah cari orang yang tepat yang bisa bantu saya, karena bahasa harus diperbaiki, gambar harus dicari, sumber harus dicek betul-betul," ujarnya.
"Tapi justru buku-buku tentang sejarah Jakarta yang membuat Anda banyak dikenal orang," kata saya.
Heuken menjawab, "Mula-mula tidak bermaksud begitu. Hanya saja waktu pertama sampai di Jakarta belum ada sama sekali buku berbahasa Indonesia yang bermutu. Lalu saya bikin Ensiklopedi Gereja Katolik. Kemudian mulai menulis tentang bangunan tua di Jakarta. Saya senang bahwa ternyata banyak yang membacanya. Mula-mula karena kesenangan saya saja terhadap sejarah. Karena tanpa sejarah, sebuah bangsa seakan kehilangan akar dan identitasnya, seperti layang-layang putus," kata dia. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI