Misalnya, tentang hari jadi Jakarta yang dianggap jatuh pada 17 Juni 1527. "Tidak ada dokumennya. Kalau orang mau berdasarkan mitos, silakan. Tapi jangan diwariskan kepada generasi muda sebagai sejarah. Saya tidak mau menceritakan dongeng sebagai sejarah. Maka saya cari fakta sejarah," ujarnya .
Mencari fakta sejarah. Itulah yang dilakukan Pastor Heuken sejak pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia. Ia terusik melihat banyak situs sejarah yang dilupakan bangsanya sendiri. Kecintaannya kepada sejarah, membuatnya tak henti mencari jawaban. Pencarian pun dimulai dengan berburu buku-buku lawas dan arsip-arsip kuno tentang Batavia. Dokumen itu lalu ia gunakan untuk menyaring sekelumit informasi dari masyarakat sekitar.
Rasa penasaran Adolf atas seluk beluk bangunan tua di Jakarta perlahan terjawab. Lembar demi lembar jawaban pun akhirnya terkumpul dalam jilid buku 'Historical Sites of Jakarta'.
Karyanya ternyata cukup diminati dan menjadi rujukan para penikmat sejarah. Buku itu terjual lebih 20 ribu eksemplar. Bahkan, dua edisinya diterbitkan Times International Singapura. "Itu artinya, saya bisa memberikan sumbangsih pengetahuan soal sejarah Ibu Kota ini," ujarnya.
Sejak menetap di Jakarta, lebih 200 buku ditulis olehnya. Sedikitnya 12 buku bercerita tentang sejarah Jakarta, selebihnya buku-buku tentang filsafat, gereja, dan ensiklopedia.
"Saya sudah menulis 12 buku tentang Jakarta. Bisa sampai 20 sebenarnya. Gampang sekali. Bahannya ada. Tapi ya saya sudah tua begini. Dan waktunya barangkali terbatas. Terus saya susah cari orang yang tepat yang bisa bantu saya, karena bahasa harus diperbaiki, gambar harus dicari, sumber harus dicek betul-betul," ujarnya.
"Tapi justru buku-buku tentang sejarah Jakarta yang membuat Anda banyak dikenal orang," kata saya.
Heuken menjawab, "Mula-mula tidak bermaksud begitu. Hanya saja waktu pertama sampai di Jakarta belum ada sama sekali buku berbahasa Indonesia yang bermutu. Lalu saya bikin Ensiklopedi Gereja Katolik. Kemudian mulai menulis tentang bangunan tua di Jakarta. Saya senang bahwa ternyata banyak yang membacanya. Mula-mula karena kesenangan saya saja terhadap sejarah. Karena tanpa sejarah, sebuah bangsa seakan kehilangan akar dan identitasnya, seperti layang-layang putus," kata dia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H