Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dokter Lie Dharmawan, Pahlawan Orang Miskin Pulau Terpencil

10 November 2022   22:34 Diperbarui: 10 November 2022   22:49 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter Lie Dharmawan ketika mengadakan pelayanan kepada masyarakat di pedalaman Papua (Foto: doctorSHARE) 

"Setiap orang dalam kapasitasnya masing-masing pasti bisa memberi. Sekecil apapun. Bahkan kalau ada orang yang sakit dan kita menyuruhnya minum obat tertentu, itu sudah pemberian. Tidak berarti bagi kita, tetapi berarti bagi yang membutuhkan." Dokter Lie Dharmawan.

 Dokter Lie Dharmawan memperlihatkan kepada saya melalui HPnya foto seorang anak yang sedang meringkuk. Antara sadar dan tidak sadar. Tubuhnya kurus. Hanya tulang-tulang yang dibungkus kulit . Matanya cekung. Ia lebih mirip seonggok tulang belulang.

"Ini salah satu anak dengan gizi sangat buruk di Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, di Pegunungan Tengah, Papua. Kalau Anda mau lihat Indonesia yang sebenar-benarnya, sesekali datanglah ke sana," kata dokter Lie, awal Agustus saat ditemui di RS Husada Jakarata.

 Ia memotret anak itu ketika bersama beberapa dokter dari Jakarta datang ke daerah, yang dalam istilah dokter Lie,  paling terpencil di Indonesia. Akses masyarakat terhadap sarana kesehatan sama sekali tidak ada. Tidak ada puskesmas, apalagi dokter.  

Untuk sampai ke Ugimba mereka naik pesawat kecil yang hanya bisa memuat 12 orang dan mendarat di Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya. Dari Sugapa mereka mesti berjalan kaki dua hari dua malam lamanya untuk sampai ke Ugimba.

"Anda tahu, bahkan setelah puluhan tahun Indonesia merdeka belum ada satu dokter pun yang sampai ke Ugimba. Kami adalah dokter pertama yang menginjakkan kaki di sana," kata dokter Lie.

Daerah Terpencil

Dokter Lie memulai pelayanan sebagai dokter di Semarang. Ia mendapati pasien yang tidak mampu membayar dan tidak mungkin ditolak. Mula-mula jasanya sebagai dokter yang ia gratiskan untuk pasien kurang mampu. Lama-kelamaan, kepada pasien yang benar-benar miskin digratiskan biaya operasi. 

Dokter Lie juga mulai mengumpulkan para koleganya, yakni sesama dokter, menggalang dana untuk pasien miskin. Sampai akhirnya terbentuk Yayasan DoctorSHARE.

Tim doctorSHARE bersama anak-anak di Ugimba (Foto: doctorSHARE)
Tim doctorSHARE bersama anak-anak di Ugimba (Foto: doctorSHARE)

Melalui yayasan ini ia telah menyambangi berbagai daerah terpencil di Indonesia,  dari Sabang sampai Merauke, untuk membuka akses kesehatan dan perawatan, entah melalui kapal Rumah Sakit Apung (RSA)  maupun melalui kegiatan "dokter terbang" (flying doctor). Puluhan ribu pasien sudah berhasil mereka tangani.

Operasi kecil maupun operasi besar dilakukan di RSA itu. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, seperti di pulau-pulau di Ambon, Kei, Nusa Tenggara, sangat tertolong karena mereka tidak perlu berlayar berhari-hari untuk sampai ke rumah sakit kabupaten. Justru sebaliknya, RSA dan para dokterlah yang mendatangi mereka. September 2022 lalu RSA dokterSHARE berada di pesisir utara Pulau Sumba, NTT.

"Idealnya saat ada orang sakit, dia datang ke dokter. Tetapi tidak seperti itu kalau di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan. Misalnya di Seumlaki hanya ada puskesmas. Tidak memadai. Kalau mau ke rumah sakit mereka harus berlayar tiga hari dua malam ke Pulau Kei Kecil. Berapa biaya yang mereka keluarkan untuk transport, buat makan, berobat dan sebagainya?" jelas Lie Mei Phing, anggota doctorSHARE.

Survei 

Karena banyak sekali daerah yang mengharapkan kehadiran doctorSHARE, maka tim terlebih dahulu harus melakukan survei untuk memastikan daerah mana yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan mereka.

Survei juga antara lain untuk memastikan jenis penyakit yang kerap mewabah, respons masyarakat terhadap penyakit dan terutama menjajaki apakah ada yang meneruskan pelayanan bagi orang sakit setelah Doctorshare meninggalkan daerah tersebut?

"Kami sadar tenaga, waktu dan bekal obat-obatan yang kami miliki serba terbatas. Karena itu kami berharap, setelah dari situ, ada orang yang melanjutkan pelayanan. BBM kapal juga perlu diperhitungkan karena itu menelan biaya paling besar dari seluruh operasional. Ini merupakan pertanggungjawaban kami kepada donatur," terang Mei Phing.

Sebenarnya  doctorSHARE telah  memiliki 3 buah kapal. Tetapi kapal pertama mereka yang diberi nama "Bahenol" tenggelam di Selat Sape, NTB pada tanggal 17 Juni 2021 lalu, usai melakukan pengobatan dan operasi di Pulau Semau, NTT. Kru kapal melihat percikan api dari salah satu ruang mesin yang diperkirakan akibat korsleting. Enam orang kru di dalamnya selamat.

Kapal RSA yang ketiga dirancang cukup besar , bisa memuat 50 ranjang untuk pasien. Kapal ini, kata Mei Phing,  akan selalu berada di perairan Maluku, bergerak dari pulau ke pulau  antara tiga sampai enam bulan.

 Telemedicine

Menurut Mei Phing, kebutuhan dokter untuk masyarakat kecil di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, selalu menjadi kendala karena tidak banyak dokter yang siap ditempatkan di pedalaman.

"Analoginya gini deh. Kalau kita lihat orang kelaparan, kita akan memberinya uang sekadarnya. Tapi siapa dari antara kita yang menjual mobil, rumah, dan seluruh hartanya untuk memberi makan orang yang kelaparan itu?"

Para dokter juga begitu kata dia. Mereka tidak mau melepas jabatannya, kedudukan yang mapan, praktik yang ramai di perkotaan untuk pindah ke daerah terpencil yang infrastrukturnya minim. Tetapi mereka tidak keberatan atau bahkan sangat ingin menyumbangkan waktunya beberapa jam dalam seminggu untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

"Saya berjumpa banyak dokter yang mengatakan seperti ini. Persoalan kita adalah belum ada platform yang jelas yang bisa mengijinkan tenaga kesehatan kita menyumbangkan keahlian mereka sesuai batasan yang sanggup mereka berikan," kata Mei Phing.

Untuk menjawab persoalan ini, Mei Phing yang ahli electrical engineering dan computer science itu sedang merancang yang ia sebut "telemedicine" ala Indonesia,  yakni teknologi pelayanan medis jarak jauh yang memakai ponsel atau tablet sebagai basis operasionalnya.

Warga mengantri untuk mendapatkan giliran diperiksa kesehatan mereka (Foto: dokterSHARE)
Warga mengantri untuk mendapatkan giliran diperiksa kesehatan mereka (Foto: dokterSHARE)

"Telemedicine ini sudah pesat berkembang tetapi belum ada yang bisa dianggap berlaku secara umum.  Harus diadaptasi sesuai kondisi infastruktur setempat.  Fungsinya adalah untuk menghubungkan dokter dengan tenaga medis di daerah terpencil," jelasnya.

Mei Phing memberi ilustrasi. Seorang tenaga puskesmas di daerah terpencil akan dilengkapi dengan tablet dan peralatan medis portable yang dapat dipindah-pindahkan untuk membuat rekam medis lengkap di lokasi.  Informasi medis tersebut disimpan, kemudian dikirim saat koneksi internet memadai.

Data pasien diunggah ke rumah sakit virtual. Dan dokter-dokter yang peduli akan membantu mendiagnosa kasus-kasus sulit sesuai keahlian masing-masing.

Mereka, kata Mei Phing, tidak perlu cuti atau berpindah tempat, dan secara kontinyu mereka bisa menyumbangkan beberapa jam dalam seminggu untuk membantu tenaga puskesmas menangani kasus-kasus sulit tersebut.

Memberi obat cacing untuk anak-anak di Sugapa, Intan Jaya (Foto: dokterSHARE)
Memberi obat cacing untuk anak-anak di Sugapa, Intan Jaya (Foto: dokterSHARE)

"Ke depan kami akan mengembangkan telemedicine ini," jelas Mei Phing yang lulus MBA dari Universitas Berkeley AS itu.

Selain melakukan tindakan pengobatan, saat ini Yayasan DoctorSHARE telah membangun klinik di Maluku untuk memperbaiki gizi anak, tempat pelatihan bagi tenaga medis lokal seperti bidan dan membudidayakan tanaman untuk obat-obatan tradisional.

"Setiap orang dalam kapasitasnya masing-masing pasti bisa memberi. Sekecil apapun. Bahkan kalau ada orang yang sakit dan kita menyuruhnya minum obat tertentu, itu sudah pemberian. Tidak berarti bagi kita, tetapi berarti bagi yang membutuhkan," ujar dr. Lie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun