Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nelly dan Aice Wandikbo, Dua Ibu Petani Kader Kesehatan di Wamena

9 November 2022   10:17 Diperbarui: 9 November 2022   16:08 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keringat masih membasahi wajah Nelly Wandikbo ketika ia kami temui di Kampung Tumun, Distrik Yalengga, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Tangannya masih menggenggam pucuk daun ipere yang akan diolah menjadi sayur. Warga menyebutnya sayur bingga. Nelly baru pulang dari ladang.

Nelly adalah petani. Ia setiap pagi ke ladang mengambil sayur dan menggali ipere untuk dimakan sekeluarga.

"Setiap hari harus ke kebun untuk petik sayur, gali ipere dan ambil makanan babi. Pucuk ipere kita makan. Daun yang sudah keras buat makanan wam (babi)," ujarnya. Ipere adalah ubi jalar dari jenis Ipomoea batatas.

Tumun bisa dijangkau dengan kendaraan. Sekitar 45 menit dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Kampung ini terletak di sisi jalan raya yang menghubungkan Wamena dengan Tolikara.

Nelly yang telah menjadi kader Puskesmas Yalengga sejak 2006 itu putus sekolah di kelas dua SMP Negeri 1 Wamena.

"Terus, saya kawin sudah," ujarnya tertawa.

Sebagai kader kesehatan Puskesmas Yalengga, tugas Nelly adalah mengundang ibu-ibu hamil dan yang sedang memiliki balita untuk ikut dalam acara Posyandu sebulan sekali. Ia juga mendampingi ibu hamil untuk memeriksakan kesehatan ke Puskesmas Yalengga.

Setiap kali acara Posyandu diadakan, Nelly bersama beberapa ibu dari kampung Tumun dan Biti selalu menyiapkan makanan bagi balita.

"Habis timbang balita, terus kasih makan sama mereka. Beras, telor dan minyak goreng sudah dikasih. Kita sumbang sayur seperti bayam, daun bingga, terus kita masak. Dari puskesmas kasih keluar bubur dengan  susu bayi," kata Nelly.

Sebulan sebelum acara posyandu dilaksanakan, kepala puskesmas Yalengga mengirim surat pemberitahuan terkait jadwal posyandu. Surat tersebut Nelly bawa ke gereja Tugunima untuk diumumkan kepada jemaat.

Nelly minta kepada pendeta atau majelis untuk menghimbau ibu hamil dan menyusui ikut dalam pemeriksaan balita dan ibu hamil. Pada kesempatan itu pula Nelly minta kepada warga jemaat menyumbang sayur-sayuran.

Tahun 2012 Nelly dipilih menjadi kader PMBA ((Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak) dan HBLSS (Home-Based life Saving Skills). Dua program ini dijalan berkat Kerjasama Unicef, WVI dan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.

Program ini dijalankan untuk menekan angka kematian balita dan ibu hamil yang cukup tinggi di Pegunungan Tengah Papua. Juga untuk menekan tengkes (stunting). Karena itu Nelly kerap diikutkan dalam pelatihan kader di Wamena.

"Saya kader HBLSS yang bantu ibu melahirkan, atau dampingi buat periksa kehamilan ke Puskesmas. Juga PMBA untuk pemberian makanan bergizi kepada balita supaya mereka tidak busung lapar," ujar Nelly.

Sebagai kader PMBA Nelly tidak saja melakukan konseling kepada ibu hamil dan ibu menyusui tentang pentingnya memeriksakan kehamilan di Puskesmas dan menyusui secara eksklusif. Ia juga belajar tentang membuat makanan bergizi.

"Kita belajar tentang makanan bergizi. Tidak perlu mahal karena semua ada di kebun. Ada ipere, ada sayur, ada buah. Juga tentang kebersihan seperti cuci tangan sebelum kasih makan sama anak," jelas Nelly.

Karena Puskesmas Yalengga hanya berjarak 30 menit berjalan kaki dari Tumun dan satu jam dari Biti, Nelly kerap mendampingi ibu hamil memeriksakan kesehatan mereka di sana.

Awalnya ia juga dilatih untuk bisa membantu ibu yang melahirkan di rumah. Tetapi karena ada peraturan pemerintah yang mewajibkan ibu melahirkan harus dibantu tenaga kesehatan atau di Puskesmas, Nelly hanya mendampingi saja.

"Saya minta mereka harus lahirkan di Puskesmas. Ada juga yang mau. Tetapi banyak yang malu," kata Nelly.

Melahirkan di Puskesmas belum menjadi kebiasaan di Tumun dan Biti. Karena itu Nelly harus pintar-pintar mempengaruhi mereka. Ia selalu mencatat hari perkiraan lahir, sehingga kalau ibu mulai berasa akan melahirkan, Nelly cepat-cepat memanggil bidan.

"Tetapi di sini sering melahirkan malam hari. Bidan sudah ke Wamena atau sudah tidur. Jadi kami yang bantu saja," jelasnya.

Nelly selalu tegas soal memotong tali pusar. "Saya bilang, harus saya yang potong tali pusar. Karena kalau di kampung mereka pakai kulit bambu. Itu tidak steril. Saya pakai silet baru yang dimasak di air mendidih supaya tidak infeksi," ucap Nelly.

Ia juga meminta ibu langsung menyusui bayinya begitu lahir. Air susu pertama harus diberikan kepada bayi.

"Tidak boleh buang. Tidak ada air susu kotor. Yang kuning-kuning itu sehat buat anak bayi," tegas Nelly. Memang, masih ada kebiasaan membuang air susu pertama (kolustrum) ke atas batu panas karena dianggap sebagai air susu kotor. 

 "Anak bayi dari 0-6 bulan tidak boleh kasih apa-apa selain air susu ibu. Kalau sudah enam bulan bisa kasih makanan pendamping, tetapi air susu ibu tidak boleh putus," terangnya.

Sementara itu kader kesehatan Aice Wandikbo di Kampung Wananuk II juga melakukan hal yang sama. Sebagai kader PMBA Aice rajin berkeliling ke tiga kampung yang menjadi wilayah "kerjanya", yakni kampung Wananuk I, Wananuk II dan Marli.

"Kampung Marli ada di dekat Sungai Baliem. Jadi naik perahu kalau ke sana. Tapi dekat saja," kata Aice yang memiliki kebun ipere dan sayur-sayuran yang luas di sekeliling rumah.

Aice Wandikbo berfoto bersama suaminya di depan kantor desa Wananuk II (Foto:Lex) 
Aice Wandikbo berfoto bersama suaminya di depan kantor desa Wananuk II (Foto:Lex) 

"Dulu di sini pernah ada empat balita meninggal. Penyebabnya mencret. Waktu saya tanya, mama-mama begitu pulang kebun langsung suap anak balita. Tidak cuci tangan," kata Aice.

Karena itu Aice selalu berkeliling, minimal seminggu sekali ke rumah-rumah yang ia tahu sedang ada balita atau ibu hamil. Di sana ia mengajari cara cuci tangan, cara masak makanan dan mendampingi mereka memeriksakan kehamilan ke Puskesmas.

"Kalau ada mama yang sudah mulai sakit-sakit mau melahirkan, saya panggil bidan di puskesmas, terus kami sama-sama pergi bantu," jelasnya.

Aice juga kerap menemukan anak-anak yang matanya cekung karena kekurangan gizi. Kepada orang tuanya Aice mengajak membawa anaknya ke Puskesmas untuk diobati dan diberi vitamin. Begitu pula kalau ada yang demam.

"Kita biasa tinggal di honai, jadi. Anak-anak hirup asap terus. Kalau sudah demam dan nafas cepat, saya suruh orang tuanya bawa ke puskesmas. Saya dampingi. Kadang mereka tidak mau berobat karena mereka pikir harus bayar. Padahal di puskesmas sudah gratis semua," kata Aice dalam dialek Wamena.

Setelah menjadi kader MTBA, Aice merasakan sendiri perubahan di tiga kampung yang ia dampingi.

Sekarang, kata dia, orangtua berani membawa anaknya ke puskesmas bila sakit. Satu-dua ibu hamil juga mulai berani datang sendiri memeriksakan kehamilanya ke puskesmas. Kalau ada acara posyandu, ibu-ibu secara sadar datang menimbang anak mereka.

"Yang jelas, sudah tidak ada anak balita yang meninggal. Beruntung juga karena kita dekat puskesmas di sini. Jadi kalau ada apa-apa kita tinggal jalan saja," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun