Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pesta Solidaritas "Bakar Batu" di Papua

28 Oktober 2022   20:44 Diperbarui: 28 Oktober 2022   20:45 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para penginjil yang pertama kali "menemukan" Tiom untuk menyebarkan Injil (Repro PGBP) 

"Dari Jakarta?" tanya Jack Way.

"Iya. Indonesia," jawab saya.

Jack tertawa keras. Ia menjabat tangan saya erat-erat.

Jack ASN di Sekretariat Daerah Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua. Dia asli Sorong, Papua Barat. Dia memberi tahu saya bagian-bagian acara "Bakar Batu" dan meminta untuk dipotret. 

"Kalau bisa Pak bangun jam 5 pagi saat wam (babi) disembelih. Itu seru," kata dia.

"Tapi Pak ini agamanya Kristen ato muslim ka?" tanya dia lagi.

"Kristen Katolik," jawab saya.

"Ah, aman sudah," jawab Jack lega. Soalnya pesta "Bakar Batu" identik dengan daging babi.

Tiom yang Dingin

Tetapi bangun pukul 05.00 pagi di Tiom, ibukota kabupaten Lanny Jaya pada pertengahan Desember bukan perkara gampang. Suhu bermain antara 7-10 derajat Celsius. Sepanjang tahun, pagi dan malam hari,  suhu di Tiom tidak pernah beranjak dari 20 derajat. Bagi daerah tropis, ini dingin yang keterlaluan.

Sebabnya adalah, Tiom berada di ketinggian 2.700 meter di atas permukaan laut. Bulan Agustus 2022 lalu suhu pernah hanya tiga derajat karena di Kuyawage, yang berjarak 30 km  di atas  Tiom sedang turun embun es (frost) yang merusak tanaman pangan warga. Suhu berada di bawah nol. Paceklik hebat terjadi di sana. Demikian pula yang terjadi pada September 2015.

 "Waktu itu di sini juga dingin bukan main. Kita berdiang di api sudah mau bakar-bakar tangan. Dingin banget," kata Masno, tukang bangunan asal Lamongan, Jawa Timur. Ia sedang menyelesaikan pengecatan beberapa bangunan di Tiom. Masno tinggal di mess, di samping rumah dinas Sekda.

Warga dari berbagai distrik bersekutu dalam perayaan Injil masuk ke Tiom (Foto: Lex) 
Warga dari berbagai distrik bersekutu dalam perayaan Injil masuk ke Tiom (Foto: Lex) 

Beberapa staf Sekda Lanny Jaya sudah mengingatkan saya sejak dari Jayapura untuk membawa jaket tebal. "Sedang dingin-dinginnya di Tiom sekarang," kata mereka. Para staf  Sekda ini selalu menertawai saya karena siang-siang masih membungkus diri dengan selimut wol.

"Keterlaluan dinginnya," kata Mark Holt (62) separuh menggerutu.  Mark adalah penginjil yang pernah enam tahun mukim di Tiom dan Tiomneri.

Sebenarnya Melbourne lebih dingin. Tetapi rupanya Mark juga hanya membawa jaket tipis. Beberapa kali Mark masih berselubung selimut sambil sarapan. Atau saat makan malam.

"Saya pikir tidak sedingin ini," kata dia.

Peringatan 60 tahun Injil masuk ke Tiom adalah pesta. Bukan saja pesta rohani lewat berbagai kegiatan seminar dan KKR, namun juga pesta  jasmani lewat pertandingan olahraga dan makan-makan. Dan hari itu, semua tumpah di lapangan, di depan kantor Gereja Baptis Tiom.

Sinode Gereja Baptis Papua saat ini ada tiga. Dahulu sebenarnya hanya satu, tetapi kemudian "pecah" menjadi Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP) dibawah Pendeta Ronny Wanimbo sekarang; Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua/West Papua (PGBWP) di bawah Socratez S.Yoman, dan Gereja Baptis Anugerah Indonesia (GBAI). Untuk membedakan ketiganya, biasa disebut Gereja Baptis Tiom untuk PGBP, Gereja Baptis Pirime untuk PGWP dan Gereja Baptis Sorong untuk GBAI.

Pesta di Pegunungan Tengah identik dengan "bakar batu".  Tradisi ini biasanya diadakan untuk merayakan kelahiran, kematian, mengumpulkan prajurit untuk berperang, namun juga untuk memulihkan hubungan yang terputus karena perang suku. Saat ini pesta bakar batu dipakai sebagai bentuk penghormatan kepada tamu atau pejabat yang datang berkunjung. Ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Papua pada Oktober 2016 misalnya, pesta bakar batu besar-besaran diadakan di Dekai, ibukota Kabupaten Yahukimo.

Dalam acara Yubileum itu, bakar batu digelar di samping kantor Gereja Baptis Tiom. Halamannya luas, seukuran dua kali lapangan sepak bola. Kantor  itu berada  di lereng bukit yang sudah diratakan.

Para penginjil yang pertama kali
Para penginjil yang pertama kali "menemukan" Tiom untuk menyebarkan Injil (Repro PGBP) 

Waktu saya datang, kayu-kayu cemara sedang  gemeretak dimakan api. Asap pembakaran membubung ke angkasa. Tetapi yang dibakar bukan makanan, namun batu-batu seukuran kepala orang dewasa. Semua memerah terkena panas.

Batu panas inilah yang menjadi "bahan bakar" untuk memasak makanan dalam acara bakar batu. Barangkali karena dimasak dengan batu yang membara, istilah "bakar batu" dipakai. Tetapi masing-masing tempat di Pegunungan Tengah menyebut bakar batu secara berbeda;  Gapiia di Paniai, Kit Oba Isogoa dan Barapen di Jayawijaya. Meskipun namanya berbeda, substansinya tetap sama.

Sementara kaum pria membersihkan wam (babi) yang sudah dipanah, mama-mama memetiki sayur dan membersihkan mbi (ipere/patatas/ubi jalar). Sayur dan mbi dibawa dari kampung masing-masing. Pagi-pagi saya lihat para mama memikul sayur dan mbi menuruni lembah. Mereka berjalan kaki. Ada pula yang dijemput mobil. Panitia menyiapkan kendaraan.

Bagaimana cara memasak "bakar batu"?

Mula-mula lubang berukuran satu meter persegi digali. Bagian dalamnya dilapisi rumput.  Di atas rumput disusun batu-batu panas. Lalu sayur-sayuran dan mbi disusun di atas batu-batu tadi. Ditindih pakai batu-batu lagi. Begitu seterusnya, sampai daging wam dibagian akhir.

Agar tidak hangus, di atas daging ditaruh sayuran. Lalu ditindih dengan batu panas. Uap yang panasnya mencapai ratusan derajat itulah yang  membuat sayur dan daging wam matang.

Membagi daging wam hasil
Membagi daging wam hasil "bakar batu" (Foto:Lex) 

 "Bakar batu" mengandaikan kerjasama yang baik. Kalau batu  tidak diberi alas yang pas, makanan bisa hangus. Atau sebaliknya tidak matang. Sebab itu kerjasama menjadi wajib. Para lelaki-lah yang berlari-lari sambil  meneriakan yel-yel penyemangat. Di tangan sudah siap kayu penjepit. Ujung kayu itu dibelah menjadi dua atau tiga, lalu dilebarkan,  agar batu panas mudah dijepit. Sementara para mama sigap menyusun sayur-sayuran di atasnya. Biasanya tidak sampai 10 menit semua lubang sudah "ditutup". Tinggal menunggu aba-aba untuk mengangkatnya.

Tetapi inilah eloknya kebersamaan. Meskipun makanan telah matang sejam kemudian, selagi acara belum selesai tak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya. Apalagi sampai mencicipi.

Daging wam dipotong kecil-kecil untuk dibagikan kepada warga yang hadir (Foto:Lex)
Daging wam dipotong kecil-kecil untuk dibagikan kepada warga yang hadir (Foto:Lex)

Semua sabar menunggu. Padahal banyak yang tertidur karena lapar dan lelah. Acara bakar batu dimulai pukul 09.00 dan baru dibuka setelah acara selesai pada pukul 15.00. Enam jam menunggu. Enam jam menahan lapar. Rasa kebersamaan membuat mereka sabar luar biasa.

Tiba giliran makanan akan dibagi. Masing-masing duduk berkelompok 20-30 orang. Sesuai distrik atau sukunya. Satu-dua orang mama membagikan sayur dan ubi terlebih dahulu. Sementara daging wam dipotong-potong. Lalu dibagikan. Dua puluh lima ribu orang duduk dengan tertib.

Ketua kelompok datang bertanya, siapa di antara mereka yang  belum mendapatkan bagian. Lewat pengeras suara juga diumumkan; kelompok yang belum mendapat makanan mengutus anggotanya mengambil ke depan. Ketua kelompok mengawasi pembagian, sampai semua anggotanya selesai makan. 

Saya membayangkan cerita Alkitab saat  Yesus memberi makan 5 ribu orang. Sama-sama di bukit, sama-sama sore hari, sama-sama duduk berkelompok-kelompok.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun