Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pesta Solidaritas "Bakar Batu" di Papua

28 Oktober 2022   20:44 Diperbarui: 28 Oktober 2022   20:45 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara kaum pria membersihkan wam (babi) yang sudah dipanah, mama-mama memetiki sayur dan membersihkan mbi (ipere/patatas/ubi jalar). Sayur dan mbi dibawa dari kampung masing-masing. Pagi-pagi saya lihat para mama memikul sayur dan mbi menuruni lembah. Mereka berjalan kaki. Ada pula yang dijemput mobil. Panitia menyiapkan kendaraan.

Bagaimana cara memasak "bakar batu"?

Mula-mula lubang berukuran satu meter persegi digali. Bagian dalamnya dilapisi rumput.  Di atas rumput disusun batu-batu panas. Lalu sayur-sayuran dan mbi disusun di atas batu-batu tadi. Ditindih pakai batu-batu lagi. Begitu seterusnya, sampai daging wam dibagian akhir.

Agar tidak hangus, di atas daging ditaruh sayuran. Lalu ditindih dengan batu panas. Uap yang panasnya mencapai ratusan derajat itulah yang  membuat sayur dan daging wam matang.

Membagi daging wam hasil
Membagi daging wam hasil "bakar batu" (Foto:Lex) 

 "Bakar batu" mengandaikan kerjasama yang baik. Kalau batu  tidak diberi alas yang pas, makanan bisa hangus. Atau sebaliknya tidak matang. Sebab itu kerjasama menjadi wajib. Para lelaki-lah yang berlari-lari sambil  meneriakan yel-yel penyemangat. Di tangan sudah siap kayu penjepit. Ujung kayu itu dibelah menjadi dua atau tiga, lalu dilebarkan,  agar batu panas mudah dijepit. Sementara para mama sigap menyusun sayur-sayuran di atasnya. Biasanya tidak sampai 10 menit semua lubang sudah "ditutup". Tinggal menunggu aba-aba untuk mengangkatnya.

Tetapi inilah eloknya kebersamaan. Meskipun makanan telah matang sejam kemudian, selagi acara belum selesai tak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya. Apalagi sampai mencicipi.

Daging wam dipotong kecil-kecil untuk dibagikan kepada warga yang hadir (Foto:Lex)
Daging wam dipotong kecil-kecil untuk dibagikan kepada warga yang hadir (Foto:Lex)

Semua sabar menunggu. Padahal banyak yang tertidur karena lapar dan lelah. Acara bakar batu dimulai pukul 09.00 dan baru dibuka setelah acara selesai pada pukul 15.00. Enam jam menunggu. Enam jam menahan lapar. Rasa kebersamaan membuat mereka sabar luar biasa.

Tiba giliran makanan akan dibagi. Masing-masing duduk berkelompok 20-30 orang. Sesuai distrik atau sukunya. Satu-dua orang mama membagikan sayur dan ubi terlebih dahulu. Sementara daging wam dipotong-potong. Lalu dibagikan. Dua puluh lima ribu orang duduk dengan tertib.

Ketua kelompok datang bertanya, siapa di antara mereka yang  belum mendapatkan bagian. Lewat pengeras suara juga diumumkan; kelompok yang belum mendapat makanan mengutus anggotanya mengambil ke depan. Ketua kelompok mengawasi pembagian, sampai semua anggotanya selesai makan. 

Saya membayangkan cerita Alkitab saat  Yesus memberi makan 5 ribu orang. Sama-sama di bukit, sama-sama sore hari, sama-sama duduk berkelompok-kelompok.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun