Ketika masih bertualang di Papua beberapa tahun lalu, pesawat menjadi moda transportasi  yang sering dipakai. Biasanya pesawat ukuran kecil  seperti Kodiak, Caravan, Pilatus Porter dan jenis lainnya. Isinya paling banyak 20 penumpang beserta barang. Sebelum terbang wajib timbang badan dan barang. Sebab berat seluruh penumpang dan barang mesti presisi. Tidak boleh melebihi daya angkut.
Timbang badan bukan di bandara seperti laiknya penerbangan umum, tetapi di depo tempat pesawat parkir. Soal keamaan pasti terjamin sebab seluruh barang dan penumpang juga diperiksa pakai metal detektor.
Ini salah satu cara untuk meminimalisir kecelakaan. Termasuk melakukan pemeriksaaan secara rutin terhadap mesin pesawat. Kayak mobil yang harus masuk bengkel sebulan atau dua bulan sekali.
 Tetapi meskipun demikian, penerbangan di sana sangat tergantung pada cuaca. Kita berharap, ketika cuaca di Sentani cerah, akan sama dengan di Wamena, atau di Puncak Jaya. Sebab di sana tabiat cuaca susah ditebak. Dalam kondisi demikian, jika masih memungkinkan untuk kembali ke bandara, pasti dilakukan, sambil pilot berhitung apakah bahan bakar cukup atau tidak? Jika tidak cukup, terpaksa mesti lanjut sembari berdoa banyak-banyak dalam hati.  Semoga kali ini selamat lagi.
Ternyata bukan hanya faktor cuaca dan pesawat yang mesti oke. Namun juga pilot. Sebab tidak semua pilot, entah senior apalagi yunior, bisa mendarat di semua bandara di pedalaman Papua. Ada pilot yang menghindari bandara tertentu. Karena itu kalau ada rute ke sana, ia minta pilot lain yang terbang.
Waktu jumpa Kapten Pilot Jeff Ron Sohilait, pilot senior dari Maskapai Yajasi, ia memberi tahu saya tentang hal ini. Jeff Ron, jika tidak terbang, dan pas saya berada di rumah orang tua mereka di Polomo Sentani, akan datang berkunjung. Ia senang bercerita. Â
"Panjang dan letak bandara sangat menentukan," kata dia.
Misalnya, Bandara Langda di di Yahukimo. Bandara ini panjangnya hanya sekitar 750 meter. Sebab itu, pilot harus berhitung secara tepat ketika akan mendaratkan pesawat.
"Sering, meskipun kita sudah persiapkan semuanya dengan baik, faktor cuaca susah diprediksi. Tiba-tiba pas mau mendarat hujan turun. Lalu pesawat bisa tergelincir," kata Jeff Ron. Hal ini yang menimpa pesawat jenis karavan dengan nomor PK-RVA milik Raven Global Air Transport yang tergelincir di Bandara Aminggaru, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Selasa (25/10/2022) pagi seperti diberitakan Kompas.com.
Hal lain yang lebih mengkhawatirkan menurut Jeff Ron adalah ketinggian terbang.
"Kalau ke Intan Jaya atau Puncak Jaya, minimal pesawat harus berada pada ketinggian sekitar empat ribu meter," kata Jeff Ron. Padahal pesawat bermesin kecil seperti yang ia piloti tak dilengkapi dengan pengatur tekanan udara seperti pada ATR atau boeing.
Kuncinya pada pengalaman pilot. Meskipun demikian, beberapa pilot senior yang telah puluhan tahun terbang di balik-balik gunung di Papua, tewas karena pesawatnya menabrak gunung.
"Kalau saya rasa mulai pening, atau mata berkunang-kunang, saya segera turunkan ketinggian. Biasanya itu karena oksigennya sudah sangat tipis. Ini yang ditakuti oleh pilot yang lain. Karena bisa kehilangan kesadaran. Tiba-tiba saja pesawat sudah di depan gunung dan tidak bisa menghindar," kata Jeff Ron.
Dengan kecepatan minimal 100 knot (sekitar 200 km/jam), menghindari suatu obyek dilakukan minimal dari jarak seribu meter.
Cuaca bisa berubah drastis. Â "Kalau saya ke sana, paling lama hanya 10 menit di darat. Lalu harus segera keluar. Tetapi kalau kabut tutup sama sekali, pilihannya nginap," kata Jeff Ron. Sebab itu setiap kali terbang ia selalu menyiapkan pakaian dan logistik untuk dua hari. Di Papua terdapat 362 bandara perintis, dan lebih dari 200 di antaranya belum punya penjaga.
"Sekarang faktor keamanan juga menjadi persoalan. Karena pesawat bisa ditembak dari bawah atau saat berada di bandara," kata dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H