Apakah Bapak Yingo Tena masih hidup? Saya sudah hilang kontak dengannya sejak 1992, ketika tamat SMA dan merantau ke Jawa untuk melanjutkan sekolah. Ketika SD dan SMP hampir setiap hari saya datang bermain ke ladangnya yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami.
Yingo Tena nama yang masyhur di Kodi pada era 1980-an, sebab dia salah satu petinju tradisional (Ptu'kung) yang disegani. Dia ksatria pilih tanding, tahan pukul dan tak terkalahkan.Â
Melihat ia berada di arena, lawan akan gentar dan memilih menghindar, sebab yang di depan ini terlalu berat untuk dikalahkan. Lawannya adalah ksatria terkenal dari kampung lain yang juga punya nama, misalnya Kanda Mete atau  Rehi Prokot. Ketika mereka berhadap-hadapan, arena riuh bukan main. Seperti kalau Manny Pacquaio melawan seteru abadinya Manuel Marquez yang sampai tiga jilid itu.
Saya ingin bercerita tentang ptu'kung, tinju tradisional di Kodi yang diselenggarakan menjelang pesta adat woleko, sebagai tanda syukur kepada Marapu oleh para penganutnya.Â
Marapu adalah keyakinan asli masyarakat di Sumba (juga di Kodi) yang dikhawatirkan akan punah jika proses pewarisannya tidak dijaga. Kedatangan agama-agama samawi ke Sumba terutama Katolik dan Protestan telah ikut memperkecil ruang gerak mereka. Apalagi pemerintah kala itu hanya mengakui lima agama.Â
Para penganut Marapu didiskriminasi, dipaksa harus mencantumkan agama resmi pemerintah dalam KTP mereka, agar bisa mendapatkan layanan administrasi kependudukan dan sekolah. Kapan-kapan saya akan menulis soal ini.
Dalam kehidupan masyarakat Marapu di Kodi, mereka telah membagi masa satu tahun (sesuai hitungan kalender Romawi) dalam dua siklus waktu yakni, masa sakral yang disebut "paddu" dan masa profan atau "kabba".Â
Paddu secara harfiah berarti "pahit", yang penuh larangan-larangan antara lain tidak boleh menyelenggarakan pesta; dan  kabba yang berarti profan, di mana penganutnya boleh bersuka-ria dan menyelenggarakan pesta. Siklus masa kabba diselenggarakan usai masa panen padi yakni bulan Maret hingga awal musim hujan pada bulan Oktober. Â
Dalam masa kabba ini penganut Marapu boleh menyelenggarakan kemeriahan antara lain pesta, antara lain pesta Woleko. Salah satu kemeriahan dalam Woleko adalah ptu'kung tadi.
Yingo Tena dikenal dalam arena ini!
Seutas tambang sepanjang 10 meter direntang dan diikatkan pada tiang atau pohon di luar kampung yang akan menyelenggarakan Woleko. Tambang ini menjadi pemisah antara dua kelompok pemuda yang akan bertinju. Para pemuda pemberani dari seantero Kodi boleh datang untuk adu ketangkasan bertinju. Bisa satu lawan satu, atau kelompok lawan kelompok.
Tak ada aturan khusus, kecuali tidak boleh menendang dan menyikut. Wasitnya adalah orang banyak yang menonton. Tak ada dendam usai ptu'kung, sebab dianggap sebagai bagian dari kegembiraan bersama. Juga tak ada pemenang. Kecuali ada yang berdarah terkena tinju. Atau patah tulang tangannya. Atau terjatuh pingsan karena ulu hatinya ditonjok keras.Â
Para ksatria seperti Yingo Tena yang saya sebutkan di atas menjadi masyhur karena mereka membuat lawannya berdarah, pingsan atau patah tulang. Sementara mereka sendiri tak ada bengkak sedikit pun di wajah dan badannya. Seperti masa muda Julio Cesar Chaves, petinju besar Mexico itu.
ÂKetika ptu'kung sudah mulai memanas, yakni dua belah pihak saling mengejek, atau saat belasan orang di sisi tali yang lain berbaris minta lawan, Yingo Tena menyerbu seorang diri melawan mereka. Bertarung gagah berani.
Jauh hari setelah itu, saya menilai bahwa ptu'kung menjadi salah satu cara masyarakat Kodi menyalurkan sikap agresif mereka dengan benar. Juga dalam atraksi Pasola yang mendunia saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H