KETIKA Perang Kodi melawan kolonial Belanda meletus di Pulau Sumba, NTT, pada 1911-1913, Pemimpin Laskar Kodi, Wona Kaka dan pasukannya berpindah-pindah tempat. Strategi ini untuk mengecoh Belanda yang telah menguasai kampung-kampung utama di sana.
Wona Kaka memanfaatkan "benteng alam" berupa gua batu yang tersembunyi di tengah hutan sebagai tempat menyusun kekuatan untuk melancarkan serangan balasan kepada pasukan Belanda, atau menantang mereka melakukan perang terbuka. Demikian yang terjadi setelah "benteng" Kawango Wulla di bagian barat Kodi dikuasai Belanda pada akhir tahun 1912.
Kawasan Kodi adalah wilayah paling barat Pulau Sumba yang didiami oleh suku Kodi, dan kini menjadi bagian dari Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).Â
Kabupaten ini juga meliputi kawasan yang didiami oleh suku Loura di bagian utara, dan suku Wewewa di bagian tengah. Dalam pengucapannya kini, Wewewa biasa juga disebut Wejewa atau Waijewa.
Dalam pertempuran Kawango Wulla-kawasan hutan yang dipagari oleh ratusan batu cadas besar-, Pati Manakaho seorang bangsawan dari Parona (kampung besar) Bondokodi tewas diterjang peluru Belanda.
Dalam pertempuran yang menewaskan puluhan orang tentara Belanda itu, tewas pula Mali Gheda, Mali Mbata, Ikit Rendi, Kanda Yingo dan Wonda Bokol. Sementara Mete Langga dan Rangga Kaleka mengalami luka berat.
Wona Kaka sangat sedih. Keenam prajurit yang tewas ini telah bertempur bersamanya sejak awal Perang Kodi meletus. Merasa "benteng" Kawango Wulla tak lagi aman, pasukan yang tersisa melarikan diri ke sebuah lembah di perbatasan Kodi dan Waimangura (masuk dalam Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya saat ini) yang disebut hutan Binya Pahha.Â
Selain jauh dari Kawango Wulla, letak Binya Pahha cukup strategis untuk memperoleh pasokan makanan dari kawasan yang didiami suku Wewewa.
Sementara itu ada Eda Popo, Ndoka Padu dan Letu Atu dari Kalembu Weri (Wewewa Barat) yang berselisih dengan Belanda. Merekalah yang secara sembunyi-sembunyi menyelundupkan bahan makanan dan pakaian.Â
Di tengah hutan Binya Pahha inilah Warat Wona, istri Wona Kaka, melahirkan seorang putri yang diberi nama: Pati Ice Pede. Nama ini secara harafiah berarti: Pati yang sangat menderita. Pasukan Wona Kaka tinggal sekitar enam bulan di sana.