Ketika pandemi Covid-19 baru merebak di Indonesia, badan sungguh terpenjara. Tidak bisa kemana-mana. Di rumah saja. Demi bisa selamat. Tapi rutinitas yang itu-itu juga, bikin bosan. Lama-lama ia bisa "membunuh" juga.
Itulah barangkali mengapa manusia disebut homo ludens, "manusia yang bermain". Artinya dalam kategori tertentu (yang membedakannya dengan "ludens" pada hewan yang mengandalkan insting), manusia memang harus berjumpa sesamanya entah di kantor, di jalan, dalam pekerjaan, bermain-main di cafe, nonton di bioskop, desak-desakan di commuterline, ketawa-ketawa di lantai 22 BEJ, atau di mana saja. Â Intinya, kalau mau main, yang jauh-jauh saja. Piknik sekalian.
Supaya tdak benar-benar 'mati' saya buka lagi file lama, yakni film-film lawas yang pernah saya tonton. Ada ratusan jumlahnya. Sebanyak itu pula, atau bahkan lebih banyak, yang sekali tonton langsung saya hapus. Yang saya simpan biasanya karena saya suka. Buat ditonton ulang.
 Kali ini saya mau berbagi cerita tentang penjara. Film tentang penjara.Â
Kalau diurut-urutkan, saya sangat suka Film Papillon (kawan, harap dibaca dalam sengau-sengau Prancis: Pap'pilo'ng). Artinya memang "kupu-kupu", merujuk pada tatto kupu-kupu pemeran utamanya, Papillon. Film ini diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Henri Charrire, berdasarkan pengalamannya sendiri. Pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia pada 1977.
Tetapi kalau kita tanya "Mbah Google" dengan kata Papillon, ketemu juga ras anjing yang disebut butterfly dog atau Squirrel Dog. Badan boleh kecil. Tapi bulunya lebat.Â
Barangkali karena telinga lebarnya itu menyerupai kupu-kupu, diberi nama butterfly dog. Konon ia ras langka. Asli Prancis, lalu migrasi ke Jepang tahun 1970-an. Jadi ikon fashion. Suka digendong-gendong para peragawati-peragawan saat lenggak-lenggok di catwalk. Â
Nah, harganya itu bikin mata terbelalak. Rp 8-12 juta. Ini balita anjingnya lho. Yang baru usia 4-5 bulan. Kalau sudah dilatih pasti lebih mahal lagi. Bagaimana kirik bisa semahal ini ya?
Kembali ke maling bernama Papillon.
Kelas kakap dia. Tapi suatu ketika ketemu batunya. Hidup glamournya ending dalam waktu semalam. Nasibnya langsung nungging. Hidup Henri "Papillon" Charrire, yang diperankan aktor Charlie Hunnam berubah drastis.Â
Dari seorang tukang pesta yang wangi, menjadi pesakitan. Malam-malam penuh pesta di Paris pada 1931 itu digambarkan ciamik oleh sutradara Michael Noer. Dik Machael ini aseli Denmark.Â
Lahir tahun 1978. Beberapa filmnya a.l: Nortwest (2013), R (2010), Before the Frost (2018). Sementara  Papillon ini film remake, sudah pernah dibuat pada 1973. Saya juga punya film edisi lamanya. Nanti di belakang saya ceritakan.
Memang, maling yang jujur susah dicari. Atau tidak ada! Begitulah Papillon. Habis mencuri  berlian di sebuah bank di Paris, hasil curiannya tidak diserahkan seluruhnya kepada sang bos mafia Jean Castili yang mengordernya.Â
Ada yang dia simpan buat pamer pada Nenette, pacarnya. Jean yang punya jaringan kuat di kepolisian tahu kalau dikadalin oleh Papillon. Dibuatlah skenario. Ia dijebak membunuh seorang mucikari. Hukumannya seumur hidup. Dibuang ke penjara Prancis-Guyana. Model Nusakambangan di Cilacap, tetapi 10 kali  lebih jauh di tengah laut. Naik kapalnya lama.
Dalam perjalanan Papillon bersahabat dengan seorang tukang tipu yang kaya, Louis Dega (dalam film barunya diperankan oleh Rami Malek). Tukang tipu memang jarang yang melatih ototnya biar kekar.Â
Otaknya yang dilatih biar 'kekar'. Kaca matanya pun tebal. Alhasil Dega jadi sasaran "tembak" napi lain. Paling lemah dari antara ratusan napi kelas berat di kapal itu.Â
Demikian pula ketika sudah tiba di pulau. Satu-satunya cara agar selamat, ia harus menerima tawaran untuk dikawal. Bahkan di atas kapal pun sudah ada yang perutnya disobek untuk diambil uangnya. Lehernya (maaf) digorok dahulu. Ada adegan ini. Â
Cukup seram memang. Soalnya ada yang membawa cash banyak. Kayak Dega. Buat sogok sipir dan keperluan lain. Duit tidak disimpan dalam saku. Tapi dalam perut.Â
Caranya? Dibuatlah tabung kecil. Entah besi atau alumunium. Â Bayangkan kapsul dengan ukuran 20 kali lebih besar. Persis kapsul! Dalam tabung bisa disimpan 5.000 dollar.Â
Digulung-gulung kecil kayak bikin rokok klobot. Rokok daun jagung. Dimasukkan ke anus atau ditelan. Biar aman dalam lambung. Kalau perlu uang, ya hars pergi ke wc. Dikeluarkan pakai pencahar. Habis ambil seribu dollar misalnya. Kas ditutup. Dimasukkan kembali ke dalam. Eh didorong kembali. Semoga tidak ditelan dari mulut ya. (Kalau pernah baca cerpennya Hamsad Rangkuty "Pispot" dalam kumpulan Cerpen "Bibir Dalam Pispot", ya semoga Anda tidak hoek...hoek muntah). Â Â
Seram, brutal, malaria, rawa-rawa, makanan yang sangat minim, hiu-hiu yang siap menyantap di laut, hukuman mati dengan pisau guillotine, dan kemungkinan melarikan diri hampir nol persen. Daratan terdekat yang punya peradaban adalah Kolombia atau Venezuela. PErlu dua minggu terapung-apung di laut. Kematian sangat lumrah.
Tetapi bahkan sejak di atas kapal menuju Guyana, Papillon sudah merencanakan pelarian. Sekali dia gagal. Dihukum diruang isolasi selama dua tahun. Tanpa sinar matahari. Ketika habis masa tahanannya ia bisa mencabut sendiri giginya yang goyang. Saking kekurangan vitamin.
 "...Hanya ada satu aturan: keheningan absolut. Tidak boleh ada interaksi, tidak boleh ada percakapan. Penjara tidak "melunakkan", penjara bertugas menghancurkan---fisik dan mental. Meracuni benak, menindas harapan, hingga tidak ada lagi yang tersisa selain rasa takut, dan kematian menjadi pilihan yang lebih masuk akal..."
Kali kedua ia berhasil lolos, tapi tertangkap. Hukuman seumur hidup isolasi di Pulau Setan. Tapi penjara tidak pernah meruntuhkan semangat Papillon untuk menjadi manusia bebas. Kali ini ia pasang strategi. Pura-pura gila agar ditempatkan di sebuah pulau karang yang minim pengawasan.
Dari pulau inilah ia berhasil lolos, memakai "rakit" dua karung kelapa tua yang ia naiki dan dibiarkan dibawa arus hingga ke Venezuela. Selain sebagai rakit, kalau lapar ia bisa makan daging kelapa tua. Tahun 1945 ia menjadi warga negara Venezuela. Tahun 1969 Â ia menulis memoar yang berisi kisahnya itu, dibawa ke Prancis untuk diterbitkan.
Meski mendapat pengampunan dari  Kementerian Kehakiman Prancis pada 1970, Papillon memilih menetap di Venezuela. Ia meninggal karena kanker tenggorokan di Madrid, Spanyol, pada 29 Juli 1973.
Tahun  1973 berdasarkan novel tersebut, dibuatlah film Papillon (yang pertama).  Steve McQueen jadi Papi.  Luis Dega diperankan Dastin Hoffman. Jalan cerita antara film pertama dan kedua tak beda jauh.Â
Menariknya adalah dalam dua film ini ada aktris berdarah Indonesia ambil bagian. Poppy Mahendra (gadis Indian bernama Zoraima) pada film 2018, Â dan Ratna Assan, model Majalah Playboy pada versi 1973. Juga berdarah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H