Dalam "Catatan Sejarah Tentang Soemba" yang ditulis J. de Roo van Alderwerelt pada 1890 seperti dikutip etnolog Prof. Janet Hoskins (Hoskins, 1997, 54), [2] Â Sumba adalah penghasil kayu cendana yang masyhur. Pada abad ke-7 sumber daya utama yang menarik pedagang masuk ke pulau ini adalah perdagangan kayu cendana dan kuda. Cendana diburu oleh pedagang Cina karena kayunya yang harum dimanfaatkan untuk membuat dupa, peti, dan kipas.Â
Sebagai penghasil kayu cendana dan kuda, Sumba pada saat itu merupakan pulau yang menarik banyak pedagang antarpulau. Sejak abad ke-15, para pedagang dari Bugis dan Bima telah rutin mengunjungi Pulau Sumba. Pada awal tahun 1600-an di Sumbawa ada pasar yang dibuka untuk menjual kayu cendana dan kuda dari Sumba. Terjadi persaingan antarpedagang Bugis, Ende, Portugis, dan Belanda di sekitar Selat Sumba dan Ombai. Memasuki abad ke-17, hutan-hutan cendana di Sumba telah habis. Sekarang, sungguh ironis bahwa sebagian besar generasi muda Sumba tidak lagi mengenali pohon cendana. Â
Festival Wai Humba menurut Tri menjadi ajang konsolidasi refleksi terhadap eksistensi warga Sumba dan Marapu (keyakinan asli masyarakat Sumba) dalam membangun harmoni peradaban di pulau ini, termasuk bagaimana melihat pembangunan yang mengabaikan kelestarian nilai-nilai lokal yang telah dihidupi selama ratusan tahun.
"Wai Humba ini adalah refleksi dan aksi atas ke-humba-an manusia Sumba. Wai Humba adalah ajang auto-kritik terhadap eksistensi sebagai orang Sumba dengan budaya dan segala kearifannya," kata dia.
Sebab itu kata Tri, perlu dipahami bahwa festival ini bukan ajang wisata, tetapi bagaimana kembali melihat berbagai nilai yang sudah dihidupi oleh masyarakat Sumba selama ini.
"Kami ingin agar kita kembali sadar kalau kita memiliki nilai-nilai hidup harmoni dengan alam, kemampuan swabela, tidak terkotak-kotak oleh berbagai kepentingan, menumbuhan minat terhadap pangan lokal, permainan tradisional, pakaian tradisional, bahasa daerah, kesenian  tradisional dan cerita lokal, kearifan lokal berbasis konservasi  sebagai solusi krisis iklim. Semua tadi itu, Abang, sudah dalam tahap mengkhawatirkan," ucap Tri. Â
Wai Humba juga menjadi ajang untuk mempertemukan semua komponen masyarakat tanpa dibatasi oleh batas wilayah administrasi, suku, ras dan agama.
"Kita satu nenek moyang, to," ucap Tri sembari tertawa.Â
Sampai sekarang, kata Tri, belum ada forum yang dapat menjadi wadah yang melibatkan semua komponen masyarakat Sumba, selain Festival Wai Humba ini.
Karena itu, "Ini terbuka untuk komunitas dan individu masyarakat Humba yang punya komitmen untuk mempertahankan eksistensi kultural Humba. Kami juga mengundang komunitas dan individu yang tidak memiliki hubungan geneoligis dengan Humba, tapi punya komitmen untuk mempertahankan eksistensi kultural Humba sebagai bagian dari tanggung jawab moral. Wai Humba terbuka untuk komunitas dan individu dari mana pun yang mau bergabung sepanjang sesuai dengan nilai dan komitmen Wai Humba," urai Tri.
Keswadayaan