"Kegiatan ini mengasah pengetahuan, keterampilan dan sikap anak. Dari sisi pengetahuan anak dapat membuat api dari bilah bambu, mengetahui tentang perubahan energi gesek menjadi energi panas, memiliki kemampuan bertahan hidup bila berada di hutan," jelasnya.
Anak-anak dapat mengasah keterampilan berpikir alternatif dan melestarikan budaya nenek-moyang. Sementara sikap atau karakter yang ditumbuhkan adalah tekun, pantang menyerah, kreatif, cinta budaya lokal dan bertanggungjawab.
Cerita rakyat dipakai untuk membentuk karakter anak. Cerita rakyat berisi nasihat orang tua kepada anak-anak mereka. "Kami punya dongeng tentang kerbau dan semut. Dalam cerita tersebut, meskipun kerbau bertubuh besar digambarkan bodoh dan lamban. Dalam perlombaan selalu kalah. Saya katakan,  barangsiapa yang setiap pagi datang terlambat ia ibarat kerbau.  Tapi siapa yang lebih dulu datang ke sekolah, ia seperti semut yang  lincah dan pintar. Mulai besok siapa yang ingin menjadi semut, ia yang datang lebih dulu. Jadi guru tidak perlu ancam siswa, tapi mereka akan berlomba menjadi semut," terang Leo.
Khusus di wilayah Kloangpopot dan Waladu, dimasukkan unsur Mior Dadin yang menjadi kekhasan warga di sini. Â "Mior" berarti baik, hebat atau unggul, dan "dadin" yang mengandung makna berkesinambungan, kontinyu atau selamanya.
Pendidikan kontekstual Mior Dadin berarti pendidikan yang terjadi terus-menerus, dimulai dari keluarga, dengan melibatkan berbagai pihak, yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan alam lingkungan setempat yang mampu membentuk manusia berkarakter baik, cinta lingkungan, hemat dan mandiri.
Model pendidikan Mior Dadin mempunyai tiga pilar yakni: Modung Mior (karakter yang baik dalam bergaul dan bertutur kata), Da'an Dadin (membersihkan dan merawat sehingga tetap baik keadaannya) dan Na'i Nalun (mewariskan  hingga ke anak cucu atau menabung).
Dalam penerapan Modung Mior, anak-anak dibiasakan untuk senyum, salam, sapa, sopan dan santun (5S) baik kepada orang tua di rumah maupun guru di sekolah. Sementara Da'an Dadin berarti para guru didampingi untuk mampu mengambil konteks lokal dan mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran di sekolah, seperti dari makanan tradisional, tarian tradisional, permainan tradisional dan mata pencaharian tradisional.
"Para guru tidak lagi sekadar mentransfer ilmu seperti yang telah lazim dilakukan, tetapi mengajak murid berkegiatan dan menemukan persoalan dari pelajaran yang diajarkan," terang Leo.
Konsep Na'i Nalun dijalankan dengan membiasakan anak-anak menabung. Sebab itu sekolah menjalin kerja sama dengan Koperasi Credit Union (CU) di Maumere dan memilih salah satu guru menjadi koordinator menabung. Tugasnya adalah mendaftarkan nama anak dan jumlah tabungan mereka setiap minggu. Selain menabung uang di koperasi, anak-anak dikenalkan juga dengan "menabung" tanaman untuk masa depan. Mereka menanam tanaman komoditi yang ada di Kloangpopot seperti kelapa, kemiri, coklat dan cengkeh. Selain menabung, tanaman-tanaman ini menjadi media bagi anak-anak untuk belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H