Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayub Kogoya, Kader Kesehatan yang Beternak Kelinci

17 Oktober 2022   08:41 Diperbarui: 31 Oktober 2022   20:07 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayub berpose dengan istri dan anak (Lex) 

Dari Wame kami jalan kaki menuju Assologaima, Jayawijaya, Papua. Sekitar 10 kilometer jaraknya. Tetapi malam segera turun ketika baru saja melewati sungai Kimbim. Tiba di jalan perkerasan menuju Assologaima, jarum jam sudah menunjuk pukul 19.00.

Mestinya sudah gelap. Karena tak satu pun yang membawa penerang, kami berjalan saja mengandalkan "mata" kaki. Tetapi justru hal ini yang melahirkan kekaguman. Langit di Pegunungan Tengah sangat terang. Bintang-bintang seperti ribuan lilin yang digantung di langit. 

Udara berada di bawah 20 derajat. Sangat sejuk. Pepohonan, bukit-bukit dan stepa yang membentang di depan kami temaram. Tidak terang tidak gelap. Suasana yang sempurna, yang tidak mungkin ada di Jakarta.

Staf Wahana Visi Indonesia (WVI) Meki Tabuni, Elias Wenda dan Kunius Komba terus bercerita tentang daerah dampingan mereka. Kalau melakukan kunjungan ke lapangan, biasanya mereka naik sepeda motor sampai ke daerah yang tidak bisa lagi dimasuki. Motor dititip ke rumah warga dan mereka berjalan kaki.

 "Sudah biasa jalan kaki seperti ini," kata Konius yang rumahnya malam itu menjadi tempat kami menginap.

Karena kelelahan berjalan selama empat jam, tak terasa pagi tiba-tiba telah datang. Kami kembali bersiap jalan kaki. Kali ini lebih pendek, sekitar 3 kilometer untuk menemui Ayub Kogoya di Elaboge, Distrik Silokarno Doga.

Kampung Elaboge terletak di dataran yang landai di bawah bukit. Dari jalan raya yang menghubungkan Wamena-Tiom, kami perlu 30 menit berjalan kaki.

Dari jauh kampung ini tidak kelihatan sebab terhalang hutan. Sementara di sisinya yang lain adalah ladang milik warga yang sedang ditanami ipere dan sayur-sayuran.

Honai dibangun melingkar menyisakan halaman yang luas di tengahnya. Sebagai sentral, sebuah gedung gereja yang belum selesai dibangun.

Kami disambut di pintu pagar oleh Ayub Kogoya. Berjabat tangan ala Pegunungan Tengah, jari tangan dijepitkan lalu ditarik. Terdengar bunyi klak.

"Kami beribadat setiap minggu di sini," kata Ayub yang juga menjadi pemimpin jemaat Gereja Baptis Etikam, Elaboge. "Hanya 12 KK. Empat puluh tujuh jiwa," kata dia lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun