Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sadar Kesehatan Jiwa: Orangtua Wajib Mendampingi

12 Oktober 2022   10:39 Diperbarui: 12 Oktober 2022   10:45 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Doktersehat.com

Kami punya pengalaman terkait kesehatan jiwa, yang membuat kami sadar bahwa sakit tidak hanya soal raga, tetapi juga jiwa. Keduanya mempunyai potensi sama untuk terjadi. 

Keduanya juga bisa disembuhkan dengan pendekatan tertentu. Sejak itu kami sadar bahwa "sakit jiwa" dengan berbagai variannya sejajar dengan "sakit ragawi" yang disebabkan virus dan bakteri.

Memasuki semester 7 pada sebuah PTN, anak sulung kami mengalami gangguan, yang kemudian disebut sebagai "depresi mayor". Kami kaget, sebab pemahaman kami yang awam tentang hal ini adalah ia penyakit keturunan. 

Menurun dari siapa? Sebab setelah menyelidiki kedua belah pihak, tak ada satu pun yang pernah mengalami seperti itu, bahkan memiliki gejala ke arah sana saja tidak.  Sementara anak kami sudah dalam kondisi kehilangan semangat hidup, kehilangan semua kecerdasaannya, dan mulai menyakiti diri sendiri.

Kami diminta datang oleh dosennya, seorang psikolog. Banyak hal dibicarakan tentang bagaimana depresi bisa muncul dan apa saja yang mungkin menjadi latar belakang terjadinya. 

Poinnya adalah: Bisa terjadi pada siapapun oleh berbagai alasan (antara lain bullying di sekolah, asrama, yang mungkin tampak sepele namun menumpuk dan meletus suatu ketika, tekanan orang tua, perspektifnya tentang masa depan, dll). 

Salah satu cara menyembuhkannya adalah pendampingan keluarga. Maka saya dan istri berbagi tugas, mengunjungi dan menemaninya secara bergantian dari Jakarta.

Namun karena kondisinya agak parah dan ada kecenderungan menyakiti diri, kami harus konsultasi ke psikiater, dan itu yang dilakukan. Ia diberi beberapa jenis obat penenang dan vitamin. Sebagai keluarga kami mengajaknya ngobrol dalam posisi yang "sejajar". Artinya, kami duduk bersama sebagai sesama manusia, bukan bicara kepada anak dalam posisi relasi kuasa orang tua-anak.

Dua bulan setelah obat-obatan itu, suatu hari ia memberi kabar: "Saya tidak mau minum obat-obat ini lagi," kata dia. Obat-obatan yang tersisa ia buang. Kehidupannya mulai berjalan seperti biasa. Semangatnya tumbuh kembali. Skripsi lanjut digarap, dan selesai tepat waktu.

Sebagai orang tua-sekali lagi yang awam dengan persoalan ini-kami mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa itu, antara lain: 

(1) Menyadari bahwa 'sakit jiwa' adalah penyakit yang sama dengan 'sakit ragawi'. 

(2) Perhatikan perlakuan-perlakuan terhadap anak yang mungkin tampak sepele namun dapat memengaruhinya kelak. Maka kami bersuara keras soal perundungan di sekolah dan asrama.

(3) Menjalin komunikasi yang setara antara orang tua dan anak, agar ia bisa mengeluarkan isi hatinya. Di sini menemani anak menjadi mutlak. 

(4) Dan jika memang diperlukan, wajib datang ke psikiater agar mendapatkan penanganan medis yang baik.

Bagaimana setelah setahun yang melelahkan itu? Ia lulus dengan IP 3,9. Beberapa bulan setelah lulus ia menolak beberapa pekerjaan yang tak sesuai dengan minatnya (atas rekomendasi kakak angkatannya) dan memilih sebagai seorang junior analis bisnis pada perusahaan pengembangan. Ia juga kini secara sukarela mau mendampingi kawan-kawannya yang mengalami hal serupa, entah itu melalui online maupun bertatap muka.

Sebagai orang tua kami lega. Tapi tugas belum selesai, sampai mereka benar-benar mandiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun