Kami punya pengalaman terkait kesehatan jiwa, yang membuat kami sadar bahwa sakit tidak hanya soal raga, tetapi juga jiwa. Keduanya mempunyai potensi sama untuk terjadi.Â
Keduanya juga bisa disembuhkan dengan pendekatan tertentu. Sejak itu kami sadar bahwa "sakit jiwa" dengan berbagai variannya sejajar dengan "sakit ragawi" yang disebabkan virus dan bakteri.
Memasuki semester 7 pada sebuah PTN, anak sulung kami mengalami gangguan, yang kemudian disebut sebagai "depresi mayor". Kami kaget, sebab pemahaman kami yang awam tentang hal ini adalah ia penyakit keturunan.Â
Menurun dari siapa? Sebab setelah menyelidiki kedua belah pihak, tak ada satu pun yang pernah mengalami seperti itu, bahkan memiliki gejala ke arah sana saja tidak. Â Sementara anak kami sudah dalam kondisi kehilangan semangat hidup, kehilangan semua kecerdasaannya, dan mulai menyakiti diri sendiri.
Kami diminta datang oleh dosennya, seorang psikolog. Banyak hal dibicarakan tentang bagaimana depresi bisa muncul dan apa saja yang mungkin menjadi latar belakang terjadinya.Â
Poinnya adalah: Bisa terjadi pada siapapun oleh berbagai alasan (antara lain bullying di sekolah, asrama, yang mungkin tampak sepele namun menumpuk dan meletus suatu ketika, tekanan orang tua, perspektifnya tentang masa depan, dll).Â
Salah satu cara menyembuhkannya adalah pendampingan keluarga. Maka saya dan istri berbagi tugas, mengunjungi dan menemaninya secara bergantian dari Jakarta.
Namun karena kondisinya agak parah dan ada kecenderungan menyakiti diri, kami harus konsultasi ke psikiater, dan itu yang dilakukan. Ia diberi beberapa jenis obat penenang dan vitamin. Sebagai keluarga kami mengajaknya ngobrol dalam posisi yang "sejajar". Artinya, kami duduk bersama sebagai sesama manusia, bukan bicara kepada anak dalam posisi relasi kuasa orang tua-anak.
Dua bulan setelah obat-obatan itu, suatu hari ia memberi kabar: "Saya tidak mau minum obat-obat ini lagi," kata dia. Obat-obatan yang tersisa ia buang. Kehidupannya mulai berjalan seperti biasa. Semangatnya tumbuh kembali. Skripsi lanjut digarap, dan selesai tepat waktu.
Sebagai orang tua-sekali lagi yang awam dengan persoalan ini-kami mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa itu, antara lain:Â
(1) Menyadari bahwa 'sakit jiwa' adalah penyakit yang sama dengan 'sakit ragawi'.Â