Saya pernah sampai ke Bukit Aitumieri di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Itu daerah yang persis berada di "leher" Pulau Papua. Â Rumah penginjil Izaak Samuel Kijne masih berdiri tegak di sana, di kompleks sekolah pendidikan guru bagi anak-anak Papua untuk bagian barat dan utara pulau ini antara tahun 1925-1945. Sekolah guru sudah tutup, namun kini bangunan-bangunan pada kompleks tersebut menjadi SMP Yayasan Pendidikan Kristen Aitumieri. Kompleks ini sekarang menjadi situs sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan.Â
Â
Kijne tiba di Mansinam pada Juni 1923, sebelum setahun kemudian ia bertolak ke Wasior untuk menjabat sebagai kepala sekolah. Ia dikenang dengan nama baik, sebagai tokoh pendidikan Papua. Pada tahun 1945 istri dan dua anak Kijne ditangkap Jepang dan dibuang ke Balige, Sumatera Utara. Nama Kijne kini diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) GKI Izaak Samuel Kijne di Jayapura, milik Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Tanah Papua. Letaknya tak jauh dari putaran Abepura, di dekat Universitas Cendrawasih dan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.
Saya diundang Tim Kemanusiaan GKI. Kami ke Teluk Wondama dalam rangka respons banjir bandang yang menimpa Wasior kala itu. Tetapi tak ada penerbangan langsung dari Nabire ke Wasior. Padahal tiga  ton obat-obatan harus dibawa masuk ke Wasior. Dalam rombongan terdapat tiga dokter dan 15 orang relawan tukang.
Ketua tim pergi menawar helikopter. Namun terlalu mahal. Tiga puluh juta rupiah sekali terbang. Padahal untuk bisa mengangkut seluruh anggota rombongan dan obat-obatan minimal harus tiga kali terbang. Kami mencari jalan lain. Yakni menyewa perahu motor. Jadilah, obat-obatan dan relawan naik perahu motor selama delapan  jam dalam sekali angkut. Langit biru laut biru. Perahu kami melaju langsam. Berangkat pukul 08.00 dan tiba pukul 16.00.
Untuk urusan makan selama di Wasior kami punya kontak orang lokal. Merekalah yang menyiapkan nasi kotak. Saya ingat porsinya benar-benar jumbo. Setiap hari diantar dengan mobil pickup ke posko, yakni di kediaman bupati Wondama, Alberth H. Torey (1953-2018). Â
Suatu sore, pengurus makanan kami datang ke posko. Saya sedang membersihkan sepatu yang penuh lumpur. Ia berbicara kepada rekan relawan. Eh, kayaknya saya pernah dengar suara orang ini? Logatnya familiar di telinga. Saya jadi penasaran.
Saya mendekat ke ruang tamu. Lelaki itu duduk di ujung sofa. Sekilas seperti pernah jumpa. Saya menguras ingatan. Ah ya, saya ingat di periode Yogyakarta pernah punya teman seperti dia. Hanya yang ini kok badannya sudah gemuk sejahtera? Saat itu kami masih sama-sama mahasiswa. Sama-sama masih bermain bola untuk sebuah klub divisi 2 PSS Sleman. Masih sama-sama kurus. Dulu itu bermain bola selain menyalurkan hobi, juga agar bisa mendapat bayaran. Syukur-syukur bisa bermain ke level yang lebih tinggi.
Masih ada satu tanda untuk memastikannya. Saya berharap ia tertawa. Dan benar ia tertawa.
"Ryan?" tanya saya sembari menyorongkan tangan.
Ia kaget. Tangan saya ia sambut.