"Hitung-hitung mengobati kangen," kata Dominick yang senang mengunjungi gedung-gedung peninggalan Belanda di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
***
Gereja Immanuel dibangun atas perintah Raja Willem I, berkuasa antara 1813- 1840, yang ingin menyatukan jemaat protestan Belanda di Batavia dalam sebuah gereja. Meskipun demikian, penyatuan antara jemaat Reformasi dan jemaat Lutheran di Batavia baru benar-benar terjadi tahun 1854, atau 15 tahun setelah gereja diresmikan.
Gereja yang persis berhadapan dengan Stasiun Gambir ini mulai dibangun tepat pada ulang tahun Raja Willem I ke-63, 24 Agustus 1835. Â Diresmikan pada tanggal yang sama tahun 1839.
Sebagai penghormatan kepada sang raja, gereja ini diberi nama Williamskerk. Tetapi sejak 1948 diganti dengan nama Immanuel; kata dari bahasa Ibrani yang berarti "semoga Tuhan selalu beserta kita".
Bergaya Klasik
J.H. Horst, arsitek Gereja Immanuel mengadaptasi gaya paladian, terkenal dengan tiang-tiang kokoh yang menyangga kerangka bangunan.
Diciptakan oleh Andrea Palladio, italiano yang hidup antara 1508-1580, berkembang pesat di Inggris pada pertengahan abad ke-17. Abad-abad selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa, lalu Amerika Utara, dan menjadi klasik.
Bagian dalam gereja berbentuk lingkaran. Horst menggabungkan ide teater dari kebudayaan Helenis dan arena dari kebudayaan Romawi, Â meniru kuil-kuil Romawi pada abad pertama masehi.
Tempat duduknya melingkar, mulai dari yang rendah, bertingkat-tingkat ke atas, ditambah balkon. Bisa menampung sekitar 800-1000 jemaat. Model ini sangat khas gereja-gereja Lutheran di Eropa yang terkesan mempersatukan jemaat dengan pendetanya. Ada tempat duduk khusus buat gubernur jenderal Belanda.
 Serambi-serambi di bagian utara dan selatan, masing-masing ditopang enam pilar kokoh, menciptakan dua bundaran konsentrik mengelilingi ruang ibadah.