Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

GPIB Imanuel Gambir: Yang Renta di Tengah Metropolitan Jakarta

24 Agustus 2022   21:40 Diperbarui: 24 Agustus 2022   21:53 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GedungGPIB Imanuel Jakarta di depan Stasiun Kereta Api Gambir (Sumber: gpib.or.id) 

Hari ini, 24 Agustus 187 tahun lalu, Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Imanuel Gambir mulai dibangun.

***

"Saya Dominick, dari Swiss," demikian  Dominick Hasller, pria 50-an yang tangannya penuh gelang membuka percakapan. Dominick bisa bahasa Belanda dan Inggris. Ia sudah 13 tahun berkeliling Indonesia.

 "Lama amat berkeliling?" tanya saya.

"Tidak berkeliling terus dong.  Menetap juga. Istri saya kan orang Yogja," jelasnya.

 Dominick berbicara soal cuaca yang makin panas, lalu-lintas Jakarta yang ruwet dan kunjungannya ke daerah-daerah di Sumatera dan Nusa Tenggara.

Siang, akhir April lalu, secara kebetulan  kami bertemu di GPIB Immanuel Jakarta Pusat. Usai kebaktian kedua pukul 08.00 bersama puluhan  jemaat lain. Ada koor yang indah dari Persekutuan Kaum Bapak.  Dalam gereja berbentuk dome (kubah) ini, jemaat bersekutu memanjatkan doa dan puja-puji bagi Allah di tempat tinggi. Hari Minggu, ada lima kali kebaktian.

Dan Dominick? Kalau ke Jakarta, kata dia, menyempatkan diri ikut kebaktian  hari Minggu pukul 10.00 dalam bahasa Belanda atau pukul 17.00 dalam bahasa Inggris.

Dominick bersama beberapa kaum ekspatriat dan opa-oma yang fasih berbahasa Belanda sering ikut ibadat di sana

"Hitung-hitung mengobati kangen," kata Dominick yang senang mengunjungi gedung-gedung peninggalan Belanda di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

***

Gereja Immanuel dibangun atas perintah Raja Willem I, berkuasa antara 1813- 1840, yang ingin menyatukan jemaat protestan Belanda di Batavia dalam sebuah gereja. Meskipun demikian, penyatuan antara jemaat Reformasi dan jemaat Lutheran di Batavia baru benar-benar terjadi tahun 1854, atau 15 tahun setelah gereja diresmikan.

Gereja yang persis berhadapan dengan Stasiun Gambir ini mulai dibangun tepat pada ulang tahun Raja Willem I ke-63, 24 Agustus 1835.  Diresmikan pada tanggal yang sama tahun 1839.

Sebagai penghormatan kepada sang raja, gereja ini diberi nama Williamskerk. Tetapi sejak 1948 diganti dengan nama Immanuel; kata dari bahasa Ibrani yang berarti "semoga Tuhan selalu beserta kita".

Bergaya Klasik

J.H. Horst, arsitek Gereja Immanuel mengadaptasi gaya paladian, terkenal dengan tiang-tiang kokoh yang menyangga kerangka bangunan.

Diciptakan oleh Andrea Palladio, italiano yang hidup antara 1508-1580, berkembang pesat di Inggris pada pertengahan abad ke-17. Abad-abad selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa, lalu Amerika Utara, dan menjadi klasik.

Bagian dalam gereja berbentuk lingkaran. Horst menggabungkan ide teater dari kebudayaan Helenis dan arena dari kebudayaan Romawi,  meniru kuil-kuil Romawi pada abad pertama masehi.

Tempat duduknya melingkar, mulai dari yang rendah, bertingkat-tingkat ke atas, ditambah balkon. Bisa menampung sekitar 800-1000 jemaat. Model ini sangat khas gereja-gereja Lutheran di Eropa yang terkesan mempersatukan jemaat dengan pendetanya. Ada tempat duduk khusus buat gubernur jenderal Belanda.

 Serambi-serambi di bagian utara dan selatan, masing-masing ditopang enam pilar kokoh, menciptakan dua bundaran konsentrik mengelilingi ruang ibadah.

Tiang-tiang penyangga yang kokoh (sumber: jejakpiknik.com)
Tiang-tiang penyangga yang kokoh (sumber: jejakpiknik.com)

Tampak ukiran-ukiran pada kayu pegangan tangga. Setiap pilar ada kepalanya dengan ukiran berwarna kuning keemasan bergaya korint yang rumit namun indah.

Pencahayaan dalam gereja dipasok sempurna dari menara bundar atau latern yang pendek di atas kubah. Bila siang tak perlu penerangan listrik. Cahaya matahari berpendar merata ke seluruh ruangan.

Tetapi pada sisi lain menara bundar itu merupakan simbol hubungan Allah dan ciptaan-Nya. Bahwa orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih Allah dalam Kristus bersekutu menyembah Dia, yang dilambangkan oleh bangunan yang makin mengerucut dan berpuncak; menuju kepada Tuhan. Kubah itu dihiasi plesteran bunga teratai berdaun enam, simbol Mesir untuk dewi cahaya.

Orgel & Kitab Tua 

Dalam gereja yang terletak  di sudut Jalan  Merdeka Timur dan Pejambon, Jakarta Pusat ini terdapat sebuah orgel raksasa berkerangka kayu mahoni coklat bikinan pabrik  J. Batz di Utrecht, Belanda, tahun 1840. Sampai di Jakarta dan mulai dipakai tahun 1843. Pipanya berjumlah 1.116 buah terbuat dari timah hitam dan putih, dan terbagi atas 16 suara.

Tinggi orgel ini kurang lebih 12 meter, panjang 9 meter dan lebar 2 meter. Panjang pipanya mulai dari 10 meter sampai yang cuma 2 cm. Semuanya masih orisinil kecuali sistem kompresornya yang sudah dielektrikkan.

"Cara memainkannya sama saja dengan orgel biasa," kata Trully Kainama, organis, yang kerap menggiring kebaktian di Gereja Immanuel.

Orgel Pipa di GPIB Imanuel Gambir (sumber: jejakpiknik.com) 
Orgel Pipa di GPIB Imanuel Gambir (sumber: jejakpiknik.com) 

Di atas mimbar ada Kitab Suci (Staatenbijbel) cetakan tahun 1748 oleh N. Goetzee di Belanda. Kitab yang sudah lapuk ini ditutupi plastik tebal.

Sementara itu  di belakang mimbar  terdapat beberapa papan kayu yang bertuliskan nama-nama pendeta beserta tahun karyanya. Bukan hanya pendeta gembala Willemskrek, namun juga nama pendeta gereja-gereja lain seperti pendeta Jemaat Jerman Rendah (Nederduitse Gemeente) atau Jemaat berbahasa Belanda (1619-1810), nama pendeta jemaat berbahasa Melayu (sejak 1622). Papan lain bertuliskan nama pendeta jemaat berbahasa Portugis (1633-1787), jemaat Lutheran (1746-1854), dan jemaat Injili (sejak 1855).

Jemaat Berdiaspora

Gereja Immanuel telah menjadi cagar budaya. Bentuk klasiknya menarik minat jemaat dari berbagai gereja, juga pesohor, anak pejabat maupun kaum ekspatriat melangsungkan pernikahan di sana. White board di konsistori penuh  nama  pasangan yang akan "meminjam" gereja ini untuk pernikahan. Gereja Immanuel sendiri memiliki 352 kepala keluarga sebagai anggota jemaat. Kalau tiap keluarga punya tiga anggota, berarti  sekitar seribu orang. Anggota jemaat  telah berdiaspora ke berbagai gereja. Banyak pula yang menetap di luar kota seperti Tangerang, Depok dan  Bekasi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun