Foto yang saya sertakan sebagai ilustrasi ini saya "klik" di Parona Bongu di Desa Ana Kaka, Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, NTT. Deretan makam di plaza parona dengan simbol salib di atasnya. Sebuah kontras yang mewakili dua entitas. Â Â
Parona adalah kampung besar di mana berkumpul orang-orang dalam satu keturunan di Kodi, yang oleh karena mesti mencari penghidupan ke luar parona (entah bertani, beternak dll) menyebar ke berbagai tempat yang memiliki lahan lebih luas yang disebut "lambada" dan "kandaghu".
Kalau kita tarik garis lurus dari pesisir pantai di mana mayoritas parona didirikan (meskipun tidak semua) maka kawasan yang disebut "lambada" adalah 'daerah tengah' yang berjarak sekitar 10 km dari pantai dan kawasan "kandaghu" merupakan 'kawasan atas' di mana hutan-hutan bertumbuh. Kawasan "tengah" dan "atas" merupakan daerah pertanian yang subur. Warga parona memilih berusaha untuk mencari penghidupan dan melahirkan generasi baru di sana.
Parona mewakili entitas keyakinan Marapu, yakni agama asli orang Kodi (dan Sumba) yang telah ada jauh sebelum agama-agama samawi masuk. Setiap parona di Kodi telah memiliki "kapling" tanahnya masing-masing dan menjadi milik klan yang tidak boleh diperjualbelikan. Setiap anggota klan hanya memiliki hak pakai, untuk bertani, membangun rumah dan beternak.
Pada sisi yang lain terdapat simbol salib yang mewakili entitas Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Setiap orang Kristen mengakui bahwa salib adalah simbol keselamatan dan penebusan. Di sana Yesus mengorbankan diri untuk menebus dosa umat manusia. Salib bagi orang Kristen adalah doktrin. Ia asas.
Dua entitas yang mewakili keyakinan yang berbeda ini berjumpa di tempat yang sama, yang dalam foto di atas di Parona Bongu. Tetapi kalau Anda pernah menjelajah Sumba, fenomena yang sama mudah ditemukan di suku-suku yang lain juga. Ini juga menjadi penjelasan bahwa penganut agama Kristen masih terkait erat dengan agama nenek-moyang mereka. Â
Untuk menerangi hal di atas, saya akan berbicara tentang kontekstualisasi Injil, yang saya persempit lagi sesuai ajaran Gereja Katolik yang saya imani. Bagaimana ajaran Katolik dapat diterima dalam konteks budaya yang berbeda-beda itu?
Pendekatan yang dipilih tidak banyak. Yakni mengakomodasi secara terbuka nilai-nilai kebudayaan asli dengan "mengambilalih" nilai-nilai tersebut dan memadukannya dengan nilai-nilai dari ajaran Katolik. Namun juga bisa dengan asimilasi yakni dengan memakai pemahaman yang ada dalam budaya asli untuk menjelaskan tentang ajaran Katolik. Maka Injil dapat dipahami oleh masyarakat dengan konteks yang berbeda itu. Kedua pilihan ini perlu kehati-hatian agar tak terjadi sinkritisme.
Dalam gereja Katolik di Sumba, mempersembahkan sirih-pinang pada makam leluhur "disejajarkan" dengan membakar lilin. Cahaya lilin merupakan simbol Kristus sebagai terang dunia seperti dikatakan Yesus sendiri, "Aku adalah terang dunia; barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, tetapi akan memiliki terang." (Yohanes 8:12). Diyakini dengan kehadiran Kristus sebagai terang dalam rupa lilin akan memberikan penerangan bagi hati, pikiran dan jiwa yang berada dalam kegelapan.
Saya pernah mendengar, saya belum cek lagi kebenarannya, bahwa di beberapa daerah di Papua bagian atas dan pesisir, sebutan "anak domba Allah" dalam perayaan ekaristi diganti menjadi "anak babi Allah" untuk memudahkan umat memahami sosok Yesus Kristus sebagai persembahan kurban yang sempurna yang menebus dosa manusia. Domba jarang ada di Papua, terutama di Pegunungan Tengah. Yang familiar adalah babi, hewan keseharian yang dipelihara sepenuh hati karena memiliki nilai ekonomis dan adat yang tinggi. Jadi Yesus  "diidentikkan" dengan babi. Â
Sebagai catatan akhir, pada setiap plaza di parona ada yang disebut "moricana" (harafiah: tempat mukim pemilik bumi) Â yakni meja tempat doa-doa dipanjatkan dan kurban dipersembahkan kepada Marapu. Posisinya tepat di tengah kampung. Moricana bisa berupa pohon yang sengaja ditanam atau tumpukan batu-batu. Ia menjadi sentral. Sementara dalam tradisi Gereja Katolik ada altar yang menjadi meja tempat kurban misa dan doa-doa dipanjatkan dalam perayaan Ekaristi. Ia juga sentral di dalam gereja.
Altar dalam tradisi Katolik dan "altar" pada tradisi Kodi yang disebut "moricana" memiliki kesamaan, yakni bukan sekadar  "meja kurban" tempat  perjamuan dilakukan dan doa-doa dipanjatkan, tetapi sebagai pusat persekutuan dari mana setiap anggota kongregasi menimba kekuatan daripada-Nya.
Barangkali dari hal ini pula yang membuat Gereja Katolik mengenal istilah "pasar" dan "altar". Kerja keras yang berkeringat, melelahkan, mungkin juga membuat sesat para anggotanya di "pasar", Â kembali diluruskan dalam persekutuan di "altar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H