Sudah tidak cocok dengan jamannya. Tetapi harus cermat. Â Saya ambil contoh, Â lagu saya Dalam Dunia yang Penuh Kerusuhan. Saya bikin tahun 1980 untuk keperluan Sidang Raya DGI di Tomohon. Lagu ini dimuat dalam KJ No. 260. Â Orang tidak menyanyikannya lama sekali. Baru pada tahun 1998, saat kerusuhan terjadi di Indonesia, lagu ini mulai populer. Â Artinya, kalau belum atau jarang dinyanyikan bukan berarti lagu itu tidak boleh dimuat.
Kriteria apa yang dipakai untuk menilai dan menyeleksi lagu gereja?
Ya, yang cocok untuk ibadah, yang sifat pokoknya adalah doa.  Dalam sinagoga Yahudi ada 'aron', almari penyimpanan gulungan-gulungan Alkitab (Taurat, Nabi-nabi, Mazmur). Amat sering ada tulisan di atasnya: "Ketahuilah di hadapan Siapa engkau berdiri (atau mengabdi)". Inilah  juga kriteria untuk lagu ibadah gereja; kepada Siapa hendak ditujukan lagu dan musik tersebut? Musik gereja bukan pertunjukan di depan publik orang Kristen, bukan entertainment rohani dari kita dengan kita. Bukan juga pertandingan beberapa paduan suara, melainkan pelayanan, pengabdian di hadapan Tuhan.
Karena itu ekspresi iman boleh ramai, bersorak-sorak, tetapi tidak harus selalu ber-haleluya. Ambil contoh dalam kitab Mazmur. Di sana segala jenis ungkapan hati ada: Keluhan, keragu-raguan, ketakutan, pergumulan, kekecewaan dan kesangsian terhadap Tuhan, tak kurang juga kegembiraan besar. Semua  itu diberi tempat. Mazmur itu jujur. Banyak nyanyian sekarang mengada-ada, membungkus kenyataan dengan manisan sentimental.
 Jadi lagu gereja yang baik seperti apa?
Yang berisi seperti Mazmur, yakni segala ungkapan hati manusia. Â Saya kira tidak ada orang yang bersuka ria seperti di dalam Mazmur itu. Â Karena dasarnya adalah hubungan antara manusia dan Allah. Bersyukur bukan sekadar karena ingin bersukaria, tetapi itu sebagai pengalaman, penghayatan akan kehadiran Allah dalam kehidupan. Â Demikian pula dengan keluhan, tangisan, pertanyaan di manakah Tuhan berada? Â Kita harus jujur, bukan? Â Di Indonesia ada banyak lagu yang membius diri, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pergumulan sehari-hari jemaat. Jarang yang bicara tentang ketidakadilan, politik dan ekonomi. Tak jarang kita seperti keong di dalam rumahnya. Soal ekologi misalnya, kita sering bernyanyi tentang burung-burung berkicau riang, tetapi kita lupa bahwa burung-burung di Jakarta tercekik lehernya karena gas mobil.
***
Saya bertanya tentang bagaimana nama van Dop bisa berubah menjadi Pandopo?  Menurutnya, orang Indonesia repot  dan sedikit sukar membedakan  huruf  "f" februari dan "v" november. Jadi orang sering salah mengucapkan  namanya menjadi  Pan Dop.
"Pada tahun 1975 saya ubah sedikit menjadi Pandopo. Tidak jelek sekali dibandingkan kalau orang bilang Pan Dop. Nanti dipikir dop mobil, hehehe," ia tertawa.
Selaku pengarang lagu, kata dia, Pandopo sebenarnya nama samaran saja. Tetapi gara-gara namanya disingkat menjadi H.A. Pandopo, orang-orang menyangka itu singkatan dari Haji Agus Pandopo. Â
"Atau orang Bugis bilang Haji Andi Pandopo, hahaha."