Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frans W.Hebi: Kebaikan Berbuah Kebaikan

18 Agustus 2022   13:42 Diperbarui: 18 Agustus 2022   13:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau yang pertama (barangkali) karena pendapatannya  yang lebih kecil ketimbang profesi yang lain seperti dokter atau pilot (bayangkan profesi bermusik atau memasak yang  tidak menjadi pilihan utama para orangtua untuk anak-anaknya zaman dahulu), yang kedua karena orang termakan oleh cara berpikir "keliru" yang berkembang dalam masyarakat, bahwa hanya orang-orang besar, berpangkat, yang memegang jabatan ini-itu, yang layak menuliskan kisah hidup mereka. Padahal, siapapun dia, bisa menuliskan kisah hidupnya.

Setidaknya seperti kata FWH: "...mungkin ini ada manfaatnya buat anak-cucu sebagai generasi penerus dan siapa tahu buat orang lain juga. Kononlah  tiap orang itu unik. Paling tidak berbagi keunikan." 

Tetapi bagi saya FWH ini tokoh. Bukan saja karena ia wartawan pertama dari Pulau Sumba, tetapi karena apa yang ia lakukan lewat profesinya itu telah menginspirasi anak-anak muda di Sumba, setidaknya saya, untuk memilih profesi sebagai wartawan. Lewat kisah hidupnya ini saya seperti sedang mendengar FWH berkata-kata: "Meskipun profesi wartawan  tidak memberimu kelimpahan materi, tetapi yakinlah saat engkau bisa menolong seseorang yang diperlakukan tidak adil, engkau akan mendapatkan kepuasaan batin yang luar biasa." Dan FWH tidak hanya membantu satu-dua orang lewat profesinya, tetapi ratusan orang. Di sini pers kelihatan fungsinya, sebagai alat kontrol.

Waktu saya datang ke rumah pada Juni itu, dan mendengar FWH bercerita tentang kisahnya, serta-merta saya seperti melihat sosok Santiago dalam dirinya: Kebersahajaan, kesabaran, kekuatan hati dan semangat pantang menyerah. 

Pada bagian akhir kisah Hemingway itu, Santiago tidak mendapatkan tepuk tangan atas keberhasilannya memancing ikan marlin raksasa. Tetapi lewat tokoh Santiago, Hemingway hendak memberi arti baru atas ke-pahlawan-an. Bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang gugur dalam pertempuran demi mempertahankan tanah airnya seperti jamak dipahami selama ini,  tetapi pahlawan adalah juga mereka  yang berhasil mengatasi penderitaanya dengan kekuatan hati  dan semangat pantang menyerah.

Saya menemukan sikap ini pada pribadi FWH!

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun