Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dendeng Ikan Paus, Krandi Watar dan Padi Ruas Bambu

18 Agustus 2022   08:11 Diperbarui: 18 Agustus 2022   08:12 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau Anda pernah ke Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, mudah menemukan dendeng ikan Paus seukuran telapak tangan orang dewasa digantung di samping-samping rumah warga dan telah mengeras. Itu adalah dendeng ikan hasil perburuan tahun sebelumnya.

Dinikmati dengan cara dipanaskan di atas bara api, lalu ditumbuk atau "dititi"biar lembut. Pasangannya "jagung titi" dan moke, air nira yang sudah difermentasi. Bayangkan, di pasir pantai depan "garasi" pledang (perahu), angin sepoi,  bersama teman mengudap makanan ini.

Di pedalaman Kabupaten Sumba Timur, dan beberapa wilayah di Sumba Barat, warga "menjemur" jagung dengan cara mengikatnya di atas pohon (karandi watar), agar awet. 

Juga agar  terhindar dari kutu, tikus dan  kebakaran. Udara Sumba yang kering,  dan panas matahari di luar,  membuat kandungan air di dalamnya hilang. Makanan jadi awet. Bisa juga untuk bibit musim tanam tahun depan.

Pada suku Waijewa, Kodi dan Loura di Kabupaten Sumba Barat Daya, kopi dan pinang disimpan dalam sokal (karung) dari anyaman daun pandan, ditaruh di atas para-para, mengering, dan bisa tahan bertahun-tahun. 

Saya ingat persis di Wanokaza, sebuah kampung di kecamatan Tanarighu di tengah-tengah Pulau Sumba, para  petani kopi mengumpulkan kopi luwak dalam sokal (hanya kopi luwak!), yang bisa muat hingga 30 kg. 

Biasanya untuk diminum sendiri. Bayangkan kopi luwak, kawan! Kalau tamu datang, tuan rumah akan "menggoreng" kopi itu untuk disajikan sebagai minuman. Bandingkan dengan secangkir kopi luwak asli di caf-caf di kota besar, Jakarta misalnya.

"Krandi watar". Jagung diawetkan dengan digantung pada pohon di samping rumah penduduk (Sumber:Victorianews.id) 

 Masyarakat Kodi, di bagian paling barat Pulau Sumba punya kebiasaan menyimpan gabah kering ke dalam bambu yang menjadi bagian dari bale-bale tempat duduk. 

Beberapa bambu bulat yang panjangnya dua meter itu dilubangi ruasnya, kecuali ruas terakhir. Padi kering dimasukkan, bisa 10 kg per bambu, lalu ujungnya ditutup rapat agar tikus tak dapat masuk. Kemudian dipasang kembali sebagai bale-bale, dan "dilupakan" saja.

Biasanya padi pada ruas bambu ini dipakai bila ada tamu yang mendadak datang pada malam hari dan tak ada padi kering yang bisa ditumbuk. Atau dimakan pada puncak musim paceklik. Juga sebagai bibit untuk ditanam pada musim berikutnya.  

Teknik mengawetkan makanan dengan dijemur di bawah sinar matahari, atau diasapi, digarami, fermentasi, dan lain-lain cara, sudah dikenal nenek-moyang kita. Untuk berjaga-jaga jika musim paceklik datang. 

Mereka mungkin tidak tahu bahwa cara-cara di atas telah menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur sebab kandungan air dalam bahan makanan tersebut telah dibuang. Mikroorganisme tak mampu hidup lagi. Belakangan baru kita mengenal teknik pengawetan modern dengan mesin pendingin atau dikalengkan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun