***
Lampu taman  yang lindap, angin pantai yang dingin, dan malam yang beranjak larut di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, awal Desember. Kopi kami belum habis ketika Baron Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik  Provinsi Aceh, mengajak pulang.
"Sudah larut. Besok lagi kita ngobrol," ia meminta.
Beringsut menuju mobil, Baron  merogoh saku celananya. Dua kali suara klik, mesin bergetar halus. Memutar ke arah kota, kami meninggalkan belasan pemancing di bibir tembok pemecah gelombang. Dari kejauhan mereka tersisa bayangan hitam.
"Sekarang aman. Inilah  sisi positif tsunami. Orang dari berbagai bangsa datang membantu membuat masyarakat Aceh lebih terbuka," kata Baron.
Kami terus berkendara ke pusat kota. Jalanan mulai sepi. Lewat  di depan Masjid Raya Baiturahman, sekelompok orang sedang mengaji. Di sisi kiri, di seberang jalan,  berdiri menyerupai kapal, Museum Tsunami Aceh. Di sampingnya kompleks Persekolahan Budi Dharma  milik yayasan Katolik. Salah satu sekolah favorit di Banda Aceh.
"Itu jalan menuju kerkhof, makam Belanda," Baron menunjuk jalan beraspal yang tak begitu lebar. Letaknya bersebelahan dengan gerbang sekolah.
Penjaga MalamÂ
Jalanan searah. Mobil memutari alun-alun kota. Di ujung lapangan kami berbelok ke kiri menanjak di jembatan Pante Pirak. Air krueng Aceh melintas di bawah. Warnanya coklat pekat. Tepat di ujung jembatan, di depan Markas Komando Militer (Makodam) Sultan Iskandar Muda, Baron memperlambat laju mobil. Lalu berhenti. Saya turun.
"Sampai besok," ucapnya.
Ia tancap gas ke utara kota. Masih sekitar 7 km untuk sampai ke Kompleks Perumahan Samaritan di Mataie, Darul Imarah, Aceh Besar. Â Baron tinggal di sana, di daerah yang berbukit-bukit.