Saya akhirnya sampai ke Medan, Sumatera Utara. Saya berpikir, kalau bisa ke Pulau Samosir alangkah eloknya. Hanya perlu waktu sekitar 5 jam lagi naik travel ke sana. Setelah selesai beracara di Medan, keesokan harinya saya meluncur ke Samosir, dengan pesan yang jelas kepada sopir, "Tolong diturunkan di penyeberangan kapal ferry Parapat. Saya mau ke Tomok."
Dalam perjalanan itu baru terasa bahwa sopir travel di Sumatera sama "sinting"nya dengan para sopir travel di Flores. Mereka menekan gas tak kira-kira. Saya rasa kami melaju rata-rata 100 km per jam. Tetapi waktu di Flores itu, saya sungguh berdoa dalam hati agar jangan sampai celaka. Sebab sopirnya masih muda, musik dalam mobil diputar keras, sembari ia asyik membalas WA atau telepon. Tak jarang stir ia putar pakai sikutnya. Â Â
Sembari itu, dalam perjalanan saya sibuk menelepon. Memastikan bahwa Pater Kris Dodok, CMF masih berada di Tomok. Kris adalah pastor kepala di Paroki Tomok. Dia masih kelas 5 SD ketika saya masuk SMP di Homba Karipit di pulau Sumba. Tetapi saat dia studi filsafat dan teologi di Universitas Sanata Darma Yogyakarta, kami berjumpa lagi.
Demikianlah saya punya tempat yang dituju di Samosir. Dan Pater Kris pada suatu hari mengajak saya mengelilingi pulau ini, dari Tomok melewati Tuk Tuk, Ambarita, Pangururan, hingga Tomok lagi. Di Pangururan kami singgah makan siang di gereja paroki.
Tiga hari di Tomok, saya berpikir lagi, bukankah saya sudah di pulau Sumatera? Mengapa saya tidak sekalian menjelajah hingga Aceh? Tapi nanti di Aceh saya akan ke daerah mana dan menginap pada siapa? Makhlum kawan, ini perjalanan dengan modal nekat saja. Meskipun tiket pulang ke Jakarta sudah dikantongi. Â
"Ada gereja Katolik di Banda Aceh. Bisa nginap juga," kata Pater Kris. Namun ia tak punya nomer telepon pastor yang bertugas di sana.
Saat berada di Bandara Kualanamu barulah saya menelepon beberapa teman, dan mendapatkan kontak Romo Herman Satar, Pr. Dia imam projo Keuskupan Agung Medan. Orang Manggarai, Flores. "Sentimen" kedaerahan saya pakai. Karena sama-sama dari NTT. Dan, waktu itu saya bilang, mau menulis tentang kekristenan di Aceh. Sebab selama ini mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di Banda Aceh misalnya, ada gereja. Berarti ada orang Kristen juga di sana.
Begitu saya memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginan untuk menginap beberapa hari di pastoran, Romo  Herman oke saja. Kemudahan luar biasa bagi saya, karena untuk penginapan dan makan tak perlu keluar biaya sama sekali. Bahkan bisa makan enak setiap hari.  Kopi? Jangan bilang lagi. Mau yang jenis apa?
Jadilah saya tinggal selama empat hari di Banda Aceh. Dan bisa berkeliling sepuasnya.
Tak dinyana, di Banda Aceh pula saya justru ketemu suster biarawati, adik kelas ketika SMP di Kodi dahulu. Dia sudah beberapa tahun bertugas di Banda Aceh, mengajar TK dan SD. Sekarang ia sudah pulang ke Sumba dan memegang SMP di Waikabubak, Sumba Barat. Â Dalam beberapa kesempatan, Â kami berjumpa di pastoran dan ngobrol dalam bahasa Kodi. Dunia terasa hanya seperti sebuah desa kecil. Setelah berpisah hampir 25 tahun, justru ketemunya di Banda Aceh.
Saya membuat catatan perjalanan. Setelah berada di Jakarta. Seperti di bawah ini: