"Nama baptis saya Sroyer Mathius. Tau dorang ini orang tua kasih nama Edy, jadi...," ia tertawa. Semua dokumen kependudukan pakai nama Sroyer Mathius.
Ceritanya, waktu tahun 1965, setiap hari di RRI Biak, seorang Kolonel bernama Edy, Â bicara soal larangan ikut PKI. "Dia orang Jawa. Jadi Bapak dorang kasih nama Edy. Dulu itu, katanya kalau nama Papua susah dapat kerja. Jadi pake nama Jawa saja, sampai sekarang, hehehe," jelas Pak Edy.
Pak Edy sudah lama bekerja di RS Dian Harapan. Barangkali sudah 25 tahun. Sebagai sopir. Mula-mula ia sopir pribadi Bruder Henk Bloom, OFM, ahli bangunan dan pertukangan yang membangun hampir semua gereja, biara dan sekolah di Keuskupan Jayapura.
"Kita masuk ke pedalaman buat bangun gereja. Saya yang bawa bahan-bahan dengan Bruder Henk," kata Pak Edy.
Ketika virus Covid 19 merebak pesat di Papua, RS Dian Harapan salah satu rumah sakit rujukan. Pak Edy mengirimi saya foto-fotonya dalam stelan ADP lengkap. Ia tampak gagah. Sebab hanya dia sopir yang diberi tugas membawa jenazah pasien yang meninggal karena Covid-19.
Nomen est Omen. Nama adalah tanda. Namun tidak buat Pak Edy!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H