Dalam kurun Januari-April 2020 saya beberapa kali ke Papua terkait penulisan sejarah RS Dian Harapan di Waena. Mereka akan merayakan Pesta Perak, 25 tahun berdiri sebagai rumah sakit pada April 2020. Saya diminta oleh dr.Jon Paat, tentu saja atas persetujuan direktur RS dan ketua yayasan Dian Harapan untuk merangkum kisah mereka dalam bentuk buku. Buku sudah terbit, tebalnya 300-an halaman.
Biasanya saya dijemput di bandara. Jadi begitu turun di Sentani sudah ada mobil RS Dian Harapan yang menanti. Yang terakhir itu sesuai petunjuk Bu Nova, staf yang mengurusi akomodasi dan transportasi, saya akan dijemput Pak Edy. Nomer HP Pak Edy diberikan kepada saya.
Dalam benak saya, Pak Edy ini orang Jawa. Sesuai nama. "Mana ada orang Papua bernama Edy?" begitu pikir saya. Â Karena telpon belum diangkat, saya mojok di cafe samping pintu kedatangan. Terbang malam bikin perut keroncongan. Di situ ada kopi panas dan kue-kue. Sembari ngopi, Â saya sambil terus melihat-lihat wajah "jawa" yang akan muncul menjemput. Sekitar 30 menit menunggu, ada telp masuk. Dari Pak Edy. "Saya sudah di depan caf. Pake topi merah," ujarnya.
Saya celingak-celinguk. Tak ada wajah oran Jawa. Yang ada ini orang Papua. Pakai topi merah. Juga sedang mencari seseorang. "Pak Edy Dian Harapan?" tanya saya. "Betul. Ini Pak Alex, kah?" Kami berjabat tangan.
Tetapi dalam hati, "Aimama, kenapa nama su kayak orang Jawa?"
Karena penasaran, dalam perjalanan saya tanya:
"Pak Edy orang mana?"
"Asli Biak, Bapa," jawabnya.
"Jadi Edy ini nama asli kah?" lanjut saya.
"Iyo, Bapa. Asli. Tapi nama baptis saya beda."
Olala....!